Prie GS |
Karenanya biar menjadi ramai, kejujuran itu harus dirangsang, dibiasakan dan ditradisikan. Kita sudah paham betapa kuat kepatuhan kita kepada tradisi. Keliru saja, jika sudah tradisi, akan tetap dijalani. Maka kalau yang keliru diganti benar, kekuatan kita dalam menjalani kebenaran pasti akan kuat sekali, karena kebenaran sudah menjadi tradisi. Maka mentradisikan kebenaran dan kejujuran harus segera dimulai.
Jjika sudah menjadi tradisi, berbuat jujur dan benar itu akan terasa ringan dan mudah. Tidak sulit dan berat seperti sekarang ini. Mengapa ringan? Karena semua menjalani. Kenapa mudah, karena semua saling menduplikasi. Satu memeragakan, yang lain meniru. Itulah inti duplikasi. Jika hal ini terus berjalan akan jadilah kebiasaan. Jika sudah menjadi kebiasaan, jadilah keharusan. Harus benar dan harus jujur, sebab kalau tidak seseorang akan dianggap menyalahi tradisi. Siapa saja yang dianggap menyimpang dari tradisi, akan diasingkan dan dianggap orang buangan.
Bayangkan jika kita memiliki tradisi kebenaran semacam itu, Indonesia pasti akan menjulang sangat tinggi. Salah, tidak jujur dan korupsi, lalu akan dicap bertentangan dengan tradisi. Lihatlah sikap kita pada tradisi itu, sungguh masih tetap kekuatannya. Tegasnya, masih kuat sekali. Tetapi isi tradisi itu juga masih tetap, juga masih kuat sekali. Ada tradisi untuk membela kekeliruan, tradisi menolong kesalahan, tradisi menyantuni kebodohan yang buahnya malah berupa penjerumusan.
Penjerumusan ini sunguh terjadi di banyak segi. Seluruh murid bodoh harus dibantu diluluskan kalau perlu diberi contekan. Malah pernah diberlakukan sistem nilai subsidi, nilai si pintar dikurangi untuk diinfakkan kepada teman yang kekurangan. Jika hendak mencari SIM tak perlu dengan ujian malah kalau perlu umur dituakan. KTP pun jangan dipersulit demi pertemanan. Itulah kenapa sesorang penduduk bisa memiliki KTP yang berbeda hingga enam. Semua urusan harus dimudahkan. Jangan dipersulit, harus gotong royong. Welas asih, dan terbiasalah menyantuni sesama yang membutuhkan.
Sunguh, niat mulia itulah yang sebenarnya terjadi. Itu adalah tradisi yang kuat sekali. Saling ingin membantu, meringkankan, memudahkan dan melancarkan. Apa yang salah dari semua ini? Tidak ada. Ini tradisi luar biasa. Mulia sekali. Kebiasaan yang sudah mengakar ini tak perlu diubah, karena bisa jadi mustahil diubah. Yang diubah cukuplah muatannya. Bentuknya biarlah. Harus tetap terus tolong-menolong, berjibaku, bahu-membahu tetapi tidak untuk soal-soal yang keliru.
Maka biarlah anak kelas tiga SD ini menjawab soalnya dengan jujur, walau mungkin keliru, sepanjang kejujuran itulah yang sedang dipentingkan. Misalnya, apa tindakanmu jika teman sebangku lupa membawa pensil? Miminjami, membiarkan, membelikan? Keponakan saya menjawan dengan tegas: membiarkan. Tentu saja jawabannya dipersalahkan oleh sekolah. Tetapi apakah anak ini jahat? Tidak. Sebab hari itu, ia juga lupa membawa barang yang sama. Jika kejujuran akan ditradisikan, jawaban anak ini harus dibenarkan. Dan itu butuh menjadi kesepakatan hingga ke Menteri Pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar