HumOr Edisi 21 Tahun Kedua, September 2013
Gelitik Humor Politik
Kartun GM Sudarta - Harian KOMPAS |
GELADI BERSIH
Di sudut malam yang gelap, bertepatan dengan malam Jum’at kliwon, nampak rombongan mahluk halus sedang berkumpul di sekitar Monas. Ada Gendruwo sebagai pemimpin, kuntilanak, suster ngesot, tuyul dan beberapa jenis mahluk sebangsa mereka sebagai peserta. Tiba-tiba muncul satuan pamong praja divisi alam lelembut menghardik mereka.
Petugas : “Apa yang sedang kalian lakukan? Dilarang berdemo tanpa seijin petugas keamanan !”
Gendruwo : “Kami sedang latihan gladi bersih, bukan berdemo!”
Petugas :”Gladi bersih? Acara apa?”
Gendruwo :”Persiapan penyambutan anggota baru, Pak!”
Petugas :”Jangan bercanda kalian. Mana ada anggota baru!”
Gendruwo :”Orangnya belum datang, masih menunggu hasil penyidikan KPK dan keputusan pengadilan. Kalau terbukti bersalah, anggota baru akan segera datang dari tiang gantungan.”
Petugas :”Siapa orang tersebut?”
Gendruwo lalu mendekati petugas dan berbisik menyebut nama.
Petugas :”Silahkan teruskan latihan, jangan mengecewakan!!”
JURAGAN SAPI
Rani memang beda, dengan modal paras cantik,bukannya ingin menjadi artis,model atau wanita karir, malah memilih menjadi juragan sapi, yang notabene banyak dilakukan kaum lelaki. Suatu hari dia datang ke pasar hewan untuk membeli beberapa ekor sapi. Melihat ada wanita cantik nan rupawan, membuat para juragan sapi berlomba menawarkan sapi mereka.
Juragan :”Beli sapi saya aja,Neng. Kualitas terjamin dan sehat!”
Rani :”Boleh juga tuh,Bang. Berapa harganya?”
Juragan :”Ah, Si Eneng buru-buru amat nawarnya. Harga mah bisa diatur, kenalan dulu atuh, Neng?”
Rani :”Ah, Si Abang! RANI..” sambil mengulurkan tangannya yang mulus dan langsung disambut dengan penuh suka cita oleh sang juragan.
Juragan :”Neng, bagaimana kalau kita minum dulu,sambil nanti tawar menawar harga? Di sini panas, kasihan Si Eneng nanti jadi item.”
Rani :”OK,Bang!”
Mereka lalu bergegas ke warung makan untuk memesan minuman dan melanjutkan obrolan.
Rani :”Omong-omong sapinya dibandrol berapa,Bang?”
Juragan :”Buat orang secantik Neng mah 15 juta saja.”
Rani segera membuka dompetnya, lalu menyerahkan segepok uang.
Juragan :”Koq cuma 5 juta,Neng?”
Rani :”Kan kalau ditotal jadi 15 juta Bang”
Juragan :”Maksud Neng??”
Rani :”Kenalan sama saya bandrolnya 10 juta,Bang!! Daah..”
ANAK SAPI
Pak Bejo, sedang menunggui sapi betinanya yang akan melahirkan. Dia ditemani seorang mantri hewan yang juga sahabatnya. Ini adalah kelahiran anak kedua sapi kesayangannya. Yang pertama berkelamin jantan, diberi nama kliwon sesuai hari lahirnya.
“Mudah-mudahan anaknya betina,” ucap Pak Bejo sambil memegangi sapinya.
“Kenapa,Jo?” tanya sahabatnya.
“Sekarang harga sapi betina sangat mahal”
“Ooh,sudah disiapin namanya, Jo?”
“Sudah,dong. Biar harganya mencapai puluhan juta, mau saya beri nama Maharani!”
GAMBAR BINATANG
Hari ini sedang pelajaran menggambar. Bu Ani, guru seni rupa sedang menugaskan murid didiknya untuk menggambar binatang. Di bangku paling belakang, nampak Paino sedang sibuk menggambar.
“Paino, kenapa kamu selalu menghapus gambarmu?” tanya Bu Guru.
“Salah melulu,Bu!” jawab Paino singkat.
“Memang kamu sedang menggambar apa?”
“Menggambar sapi, Bu.”
“Terus, apanya yang salah melulu??”
“Setiap saya menggambar sapi, jadinya gambar wanita cantik,Bu!!”
PARODI PILKADA
1. Pendukung Plin Plan
Kang Acep, warga Jawa Barat tulen, sudah terkenal aktif dalam berpolitik. Menjelang PILKADA Jawa Barat, diapun sibuk berkampanye.Tapi sayang, orangnya kadang tidak tegas dalam bersikap, alias plin plan.
Suatu hari, dia nongkrong di warung langganannya. Sambil ngopi, sesekali dia mengeluarkan obat sakit kepala dari kantong bajunya. Anehnya, obat itu tidak diminum, cuma bolak-balik diliatin.
“Kang Acep, kenapa bawa-bawa obat sakit kepala terus?” tanya Bu Mumun,pemilik warung.
“Saya kan pendukung pasangan Dede Yusuf-Alex”jawab Kang Acep mantap.
Seminggu kemudian, Kang Acep datang dan nongkrong lagi di warung Bu Mumun.
“Kang Acep, kenapa sekarang suka membawa obat sakit mag?” tanya Bu Mumun.
“Iya, sekarang saya beralih ke pasangan Aher-Dedi saja. Lagian sekarang saya jarang pusing, tapi sering nyeri lambung”
Minggu berikutnya, Kang Acep datang lagi ke warung.
“Kang Acep, tidak pesen kopi?”tanya Bu Mumun.
“Saya sudah tidak minum kopi. Tolong seduhin ini saja, suplemen penambah stamina rasa anggur!”
“Kenapa,Kang?”
“Sekarang saya mendukung pasangan Rieke-Teten saja. Sibuk ikut kampanye,saya jadi kurang stamina,makanya saya mau pilih Neng Rieke saja.
Minggu berikutnya, Kang Acep datang dan nongkrong lagi di warung.Tapi aneh, tidak memesan apa-apa. Dia hanya duduk di meja pojokan, badannya nampak lesu, sesekali memegangi kepala dan perutnya.
“Kang Acep kenapa?Sakit??” tanya Bu Mumun.
“Saya kena komplikasi, gara-gara sibuk ikut kampanye terus. Pusing,capek,keseringan minum suplemen malah lambung saya jadi sering nyeri.”
“Sekarang Kang Acep pilih siapa?”
Kang Acep tidak menjawab, malah lagi-lagi memegangi kepalanya.
“Maaf, nanya lagi. Kang Acep mau minum apa?”
“AIR PUTIH saja, jangan nanya lagi. Saya GOLPUT!!”
2. Putaran Kampanye
Putaran pertama Pilgub sudah berakhir, namun belum ada pasangan calon yang meraih suara di atas 50%, sehingga sudah dipastikan akan terjadi Pilgub putaran kedua.
Mr. Paijo,SH,MPH tidak menyangka ternyata dirinya tidak lolos masuk putaran berikutnya. Padahal kalau dia mau mendengarkan saran istrinya, agar tidak ikut tampil dalam bursa pilkada, tentunya tidak akan mengalami kekecewaan seperti sekarang.
Dengan wajah masih lesu, dia kembali menyaksikan siaran ulang penghitungan suara Quick Count yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Dengan ditemani cucu tersayangnya, dia terus mengamati pergerakan angka perolehan suara.
“Opah, kwik kon itu apa?” tanya cucunya.
“QUICK COUNT, artinya hitungan cepat” jawab sang Opah menjelaskan.
“Kalau putaran kedua, apa?”
Belum sempat menjawab pertanyaan cucunya, tiba-tiba istrinya langsung memotong dengan ucapan sindiran.
“Opah kamu,tuh! Gagal masuk putaran kedua!!”
Rupanya sang cucu menyadari kalau atmosfir keluarganya sedang kurang kondusif. Dengan polosnya dia mendekati sang Opah dan berusaha menghiburnya.
“Opah jangan sedih,Ya. Kalau gagal masuk putaran kedua, nanti ikut putaran ketiga aja, siapa tahu bisa menang. Kan yang lain sudah pada capek!!
(Uji Agus Pujianto)
Tes dan Uji Kelayakan
Kartun Yere Agusto |
Seorang pemuka agama galau memikirkan masa depan anaknya laki yang semata wayang. Hari ini ia ikut UN, namun belum punya pilihan pendidikan untuk masa depannya.
Sang bapak lalu ingin mengetes bakat anaknya. Di meja kamar anaknya diletakkan 4 macam benda, lalu ia memantau via kamera pengintai. Jika benda yang diambilnya (Kitab Suci) maka ia akan jadi pemuka agama. Apabila benda kedua (uang) ia pasti akan menjadi pengusaha. Kalau ia menjamah benda ketiga (foto wanita seksi), dia akan jadi don juan. Tetapi manakala ia menjamah benda keempat (minuman keras) dipastikan ia akan jadi preman dan pemabok.
Begitu si anak pulang ia masuk ke kamar, langsung saja matanya terpaku pada benda-benda asing di mejanya. Sejenak terkesiap, ia lalu mengambil kitab suci dan mengepitnya di ketiak, kemudian ia mengambil uang dan memasukkannya ke sakunya. Lantas dia memandang foto wanita seksi itu tanpa berkedip dan terlihat bernafsu lalu sgera ia membuka botol minuman keras dengan giginya dan langsung meminumnya seraya tetap mengamati foto si aduhai.
Sang ayah tanpa sadar berseru sendirian, "Ya Tuhan.. anakku pasti kelak akan menjadi anggota DPR."
(Wasito Djati Pribadi)
Kaum Kartini Kok Begini
Kartun Lelucon Ayun Wahyu |
Suami yang Baik
Ada Emak kasih nasihat ama putrinya, si Poni.
Emak: Pon, kalo milih laki yang baik itu ada 3 syaratnya:
1. Bisa irit
2. Lebih bego daripada elu
3. Masih jejaka tingting
Pada suatu hari Poni berwisata ke Puncak bersama pemuda kenalan barunya. Karena kemaleman, mereka nginep di sebuah hotel. Esoknya, dengan gembira si Poni melaporkan kepada emaknya.
Poni: aku udah dapet pacar mak...dan memenuhi ketiga syarat itu: IRIT, BEGO, JEJAKA
Emak: alhamdulillah...gimana ceritanya?
Poni: waktu kami kemaleman dan tidur di hotel, dia mengajakku tidur satu kamar aja. Nah, berarti dia bisa irit ya Mak?
Ke dua, dia melarangku pake pakean.. takut kalo pakeanku kusut. Padahal Puncak kan hawanya dingin. Berarti dia bego ya mak?!
Emak: lantas..apa buktinya kalo dia perjaka tingting?
Poni: eee...burungnya masih disegel mak.
Emak: disegel gimana?!
Poni: masih dibungkus...nih barang bukti bungkusnya..
Emak: jidat elu penyok itu...ini namanya KONDOM.!!
(Tris Sakeh)
Gara-gara Blokir Anggaran atau Kesalahan Teknis?
Ikhsan Dwiono Juara Ketiga Lomba Kartun Syria 2013
Satire Politik
Oleh Darminto M Sudarmo
Tujuan dari lelucon bukan untuk menurunkan derajat manusia, tetapi untuk sekadar mengingatkan bahwa mereka sudah terdegradasi.
George Orwell
Salah satu lelucon paling ganas dan menyengat adalah satire. Meskipun demikian, seganas dan setajam apapun tak akan ada pengaruhnya apa-apa bagi sejumlah elit penguasa maupun pejabat publik bermasalah masa kini. Mereka telah memiliki alat penangkal yang amat canggih dan mustajab, namanya muka tebal. Atau separah-parahnya mati rasa hati nurani.
Apa boleh buat, mungkin mereka merasa nyaman dengan berbekal peribahasa, “Lelucon menggonggong, masalah tetap berlalu”, karena kenyataannya masyarakat kita mudah melupakan, mudah terpesona oleh hal-hal yang serba baru. Kalau guyonan itu dikait-kaitkan dengan situasi Indonesia belakangan ini yang sangat heboh dan berisik; maka makin gayeng adegan pentas yang ada di depan mata kita. Mari kita lihat di bidang politik. Dari pemilukada, konsolidasi partai, lobi-lobi, tawar-menawar posisi, pemetaan ancaman dan peluang, penyiapan strategi hingga banyak lagi lainnya; semua begitu tumplek-blegjadi satu dan berebut prioritas.
Hiruk-pikuk kasus korupsi, prahara di partai politik, bab-bab lanjutan perang urat saraf antara Anas Urbaningrum dan pihak yang disebutnya para Sengkuni, atau Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik kebocoran Sprindik; ikut mewarnai riuhnya opini di media. Bagi sementara masyarakat kondisi seperti ini terkesan berisik, membingungkan dan bikin pening orientasi. Bagi kita, para pencinta humor, kita ramaikan situasi itu dengan tertawa dan menertawakan apa yang ada; begitu saja, agar kita tidak ikut-ikutan gila!
Seperti kita ketahui, kegaduhan politik di Indonesia, belakangan makin menghangat; bahkan memanas. Fenomena itu muncul karena tahun 2014 sudah di ambang pintu. Sejumlah partai politik tiba-tiba menjadi sangat paranoid. Tegang dan reaktif. Seakan di negeri yang masih menanggung utang berbagai persoalan krusial dan substantif ini tak ada urusan lain yang lebih penting selain menyiapkan segala perangkat dan mental untuk menyongsong 2014.
Fakta itu sungguh bikin geli hati. Sebenarnya, dinamika politik itu sehat. Aneka trik, manuver dan strategi para politisi untuk memikat publik luas juga sah-sah saja, sejauh masih dalam koridor etika kepatutan umum dan asas fairness. Politik menjadi ternoda, kotor dan dicemooh ketika ingkar dari terminologi dasarnya yang netral. Makin mencemaskan lagi ketika disinyalir masyarakat terlihat mulai surut kepercayaannya dan skeptis terhadap partai politik karena menyaksikan pentas mereka yang jauh dari harapan.
Di berbagai negara maju, kegaduhan politik itu selalu menarik perhatian para humoris untuk mengkritisisi situasi. Tak terkecuali di negeri kita. Para penulis opini pendek (status), kolom, kartun opini, foto/gambar opini dan aneka komentar tajam di berbagai jejaring sosial bertaburan. Ada yang halus (pasemon), ada yang satire (agak dalam dan serius), hingga ada pula yang sangat kasar (sarkastik). Termuat secara instan, hanya berselang menit atau detik dari publikasi terbuka di berbagai media umum.
Partisipasi para humoris dan peminat humor ini – betapapun sarkastiknya – tetap lebih sehat dibandingkan dengan reaksi anarkis masyarakat yang mengumbar agresivitas. Karena hakikatnya, salah satu fungsi dari lelucon adalah untuk mengeliminasi agresivitas yang berlebihan. Ini sungguh menarik, merujuk George Orwell, dikatakan, "Tujuan dari lelucon bukan untuk menurunkan derajat manusia, tetapi untuk sekadar mengingatkan bahwa mereka sudah terdegradasi."
Politisi di Mata Humoris
Berbicara tentang politik tentu tak dapat mengabaikan peran para politisi. Sesungguhnya, politisi itu makhluk seperti apa di mata para humoris? Berikut komentar (lelucon) mereka tentang politisi.
“Politisi buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk memperkaya diri dan golongannya; sedangkan politisi baik adalah sekelompok politikus yang belum ketahuan kedok atau belangnya.”
Ketika kepada mereka ditanyakan tentang tokoh-tokoh dan pemimpin besar dalam sejarah, “Apakah itu berarti mereka juga penjahat yang belum terbuka kedoknya?”, maka spontan dijawab, “Mereka bukan politisi baik, tetapi negarawan tulen.”
Sulit dihindari munculnya citra miring tentang politisi karena sepak terjangnya yang khas dan cenderung bebal, “Politikus itu sama saja dengan popok bayi. Keduanya harus diganti secara teratur untuk tujuan dan alasan yang sama.”
Bahkan sebuah sindiran yang sangat tajam dan mengejutkan memberi gambaran sebagai berikut tentang politisi:
Seorang wanita pergi berkonsultasi ke seorang dokter. Wanita itu mengeluhkan kalau suaminya belakangan ini telah berkecenderungan ke seks anal, ia ragu apakah itu baik untuk kesehatan.
"Apakah Anda menikmatinya?" tanya dokter.
"Yah, apa boleh buat."
"Apakah Anda menikmatinya?" tanya dokter.
"Yah, apa boleh buat."
"Apakah itu menyakitkan bagi Anda?" tanya dokter.
“Tidak juga, sih, tapi.... "
"Nah,” dokter melanjutkan,"tidak masalah kalau itu sudah menjadi kesepakatan bersama, hanya saja Anda harus berhati-hati agar tidak hamil. "
Wanita itu bingung. "Apa? Anda bilang, bisa hamil dari seks anal? "
"Tentu saja," jawab dokter. "Menurut Anda, politisi itu datang dari mana?”
“Tidak juga, sih, tapi.... "
"Nah,” dokter melanjutkan,"tidak masalah kalau itu sudah menjadi kesepakatan bersama, hanya saja Anda harus berhati-hati agar tidak hamil. "
Wanita itu bingung. "Apa? Anda bilang, bisa hamil dari seks anal? "
"Tentu saja," jawab dokter. "Menurut Anda, politisi itu datang dari mana?”
Kasus-kasus korupsi juga menjadi biang kegaduhan politik. Kasus korupsi yang terkait dengan simulator SIM yang membuat Irjen Pol Djoko Susilo jadi tersangka dan istri mudanya Dipta Anindhita dipanggil KPK, langsung menggelitik humoris untuk meluncurkan leluconnya, “Di balik setiap pria sukses selalu ada seorang wanita di belakangnya. Di balik setiap pria sukses yang jatuh, selalu ada wanita lain di belakangnya.”
Tentang koruptor-koruptor “religius” juga bukan isyu baru. Modus yang dia pakai juga merupakan fenomena universal yang terdapat di berbagai negara. Salah satu lelucon pendek (oneliner) yang ditulis humoris asing menyiratkan semangat itu, bahwa sejak kecil pun, seorang bocah sekalipun, sudah memulai bersiasat, agar kesalahannya terkesan cair dan menjadi sosok yang inosense karena telah melakukan hal yang dianggapnya religius, “I asked God for a bike, but I know God doesn't work that way. So I stole a bike and asked for forgiveness.”
Kecenderungan korup ada di semua lapis kekuasaan, karena ujian bagi setiap penguasa selalu berupa tekanan atau godaan. Mungkin agak berlebihan bila mengklasifikasikan perilaku korup sebagai elan, kredo atau ideologi untuk mencapai target-target heroik karena apa yang dilakukannya dapat meyelamatkan partai atau golongan dari krisis finance yang dideritanya. Ini tidak selalu berkaitan dengan korupsi dan pengadaan sapi impor, bisa juga soal-soal lain. Siapa saja dapat terjebak di dalamnya. Pepatah lama yang menyebut-nyebut “tikus” sebagai metafora koruptor mengatakan, “The early bird might get the worm, but the second mouse gets the cheese.”
Mengapa para pelaku korupsi dapat bersikap tenang bahkan berani bersumpah secara meyakinkan dengan ekspresi datar tanpa dosa? Tidak perlu kaget, di sinilah para pelaku korupsi memainkan bahasa tubuh mereka secara rileks dan nyaman; apalagi bila dia berjenis kelamin laki-laki. Pepatah lama saja mengatakan, “Women might be able to fake orgasms. But men can fake a whole relationship.”
Kegaduhan politik memang tidak harus disikapi dengan reaksi ikut-ikutan panik dan kehilangan orientasi. Mungkin kita perlu sedikit mengendorkan urat saraf, memompa rasa humor yang selama ini terkubur dalam-dalam agar dapat melihat situasi dengan cara pandang yang lain. Nasihat Gene Perret, untuk membangkitkan rasa humor yang baik kita perlu mengasah tiga hal; pertama, mengasah kemampuan untuk melihat; kedua, mengasah kemampuan untuk mengakui; dan ketiga, mengasah kemampuan untuk menerima fakta sebagaimana adanya.
Dengan demikian, rasa humor dapat menjernihkan pikiran dan membebaskan kita dari prasangka-prasangka yang membebani.
(Dimuat di Harian Jawa Pos, 13 Maret 2013 – dengan judul: Bersatire Agar Tidak Gila – artikel ini merupakan naskah asli sebelum dilakukan penyuntingan).
Media dan Rezim Isu
Oleh Darminto M Sudarmo
Politisi buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk memperkaya diri dan golongannya; sedangkan politisi baik adalah sekelompok politikus yang belum ketahuan kedok atau belangnya.
Satire tersebuttergolong sindiran yang sangat tajam. Seperti kita ketahui, satire masuk kateogri sindiran atau kritikan yang muatan ejekannya lebih dominan dibandingkan dengan leluconnya itu sendiri. Kondisi perpolitikan Indonesia saat ini sangat subur memancing munculnya bukan saja kritikan atau sindiran tajam, tetapi juga hujatan dan caci cerca.
Kasus Anas Urbaningrum yang seharusnya berada di ranah hukum langsung menjadi bias ketika Anas berhasil membelokkan topik ke ranah politik lewat retorikanya yang penuh teka-teki dan perlawanan.
Media dan masyakarat pun lalu terpancing untuk mengikuti bagaimana kelanjutan misteri – karena secara tersirat pernyataan Anas menjanjikan itu -- sejumlah kasus besar yang sekian lama menggantung; dan Century salah satunya. Tak hanya terpancing, media bahkan ikut terseret dalam “permainan” yang mengasyikkan itu.
Spekulasi para pengamat pun berhamburan. Sengaja atau tidak Anas telah menggiring bangkitnya harapan masyarakat untuk melihat endingtertentu yang mengarah pada figur tertentu pula.
Salah satu celah yang dilupakan oleh media dan banyak pengamat berhasil dibuka oleh Prof. JE Sahetapy di acara Indonesia LawyersClub, TV One, 5 Maret 2013, terkait moralitas Anas sebenarnya. Seandainya benar ia mengetahui sejumlah skandal dan kejahatan besar di lingkungan elite penguasa, mengapa ia sekian lama mendiamkannya? Baru setelah tersandung kasus, Anas bertekad membuka itu lewat halaman perhalaman karena merasa menjadi korban konspirasi.
Mungkin benar anggapan yang mengatakan, mustahil kita mengharapkan ucapan jujur dapat keluar dari seseorang yang saat itu berada dalam risiko dan tekanan; namun seseorang yang berjiwa negarawan dan memiliki komitmen tinggi terhadap kebenaran, seberat apapun risiko yang akan dihadapi seharusnya bukan menjadi alasan.
Skandal demi skandal hilang timbul tanpa ada kejelasan. Konspirasi demi konspirasi diciptakan untuk mengalihkan perhatian. Isu demi isu datang dan pergi seenak hati. Semua itu seperti memberi bukti bahwa republik ini bergerak tanpa visi. Maka pertanyaannya, akan dibawa ke mana sebenarnya negeri ini?
Agenda 2014
Tumpang tindih arus wacana terkesan berisik, membingungkan dan bikin pening orientasi. Apakah semua itu akan mengantarkan kita pada substansi yang produktif dan membawa pencerahan baru? Atau sekadar hiruk-pikuk spekulasi yang berujung pada antiklimaks persepsi.
Hiruk-pikuk kasus korupsi, prahara di partai politik, bab-bab lanjutan perang urat saraf antara Anas Urbaningrum dan pihak yang disebutnya para Sengkuni atau Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik kebocoran Sprindik; terasa paling mewarnai riuhnya opini di media. Ada apa dengan media kita? Mengapa ia menjadi sedemikian ramah dan mesra kepada rezim isu?
Hampir luput dari perhatian kita. Adanya sejumlah agenda tersembunyi untuk menyongsong 2014 yang sudah di ambang pintu; mungkinkah itu yang membuat sejumlah partai politik tiba-tiba menjadi sangat paranoid? Seakan di negeri yang masih menanggung utang berbagai persoalan krusial dan substantif ini tak ada urusan lain yang lebih penting selain menyiapkan segala perangkat dan mental untuk menyongsong 2014?
Bukan rahasia lagi, kesulitan parpol mencari kader caleg bersih dan bermutu ditambah adanya tanda-tanda masyarakat yang mulai surut kepercayaan dan skeptis terhadap partai politik, makin menguatkan sinyalemen bahwa eksistensi parpol berada dalam tekanan psikologis serius.
Media sesungguhnya punya peran besar untuk fokus pada figur calon pemimpin yang akan mengawal Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Dengan mewacanakan mereka, apakah dari unsur parpol atau indipenden, barangkali akan lebih hemat energi dan pemikiran. Apalagi bila media juga mengakomodasi partisipasi masyarakat lewat ruang atau forum yang disediakan untuk itu.
Tradisi model kampanye pemilu yang ada selama ini mungkin perlu di-set up ulang karena hanya akan melahirkan spekulasi-spekulasi dan berbiaya tinggi pula. Biaya tinggi hanya akan melahirkan pemimpin yang sibuk dengan hitungan untung-rugi. Ongkos politik dan biaya politik harus direduksi secara frontal supaya kita dapat kembali ke model demokrasi yang murah dan alami. Salah satu cara untuk mencapai itu, media perlu melakukan wacana dan bursa calon pemimpin masa depan sedini mungkin.
Pemimpin yang benar adalah figur yang terpilih bukan dipilih. Terpilih karena telah melalui proses waktu dan teruji rekam jejak prestasinya. Tradisi memilih calon pemimpin atau wakil rakyat yang serba dadakan dan terburu-buru, apalagi berlumuran “hadiah” yang penuh pretensi dan tidak mendidik, hanya akan melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang menisbikan konstituennya; transaksi telah selesai, jual beli telah impas.
Medialah sesungguhnya pemegang kendali opini masyarakat. Di pundaknya termuat tanggung jawab besar untuk ikut mengawal arah dan orientasi bangsa ini. Potret DPR dalam satu dekade ini yang penuh anomali dan ambivalensi, biarkanlah menjadi cerita lama. Untuk menyiapkan perbaikan negeri ke depan, media perlu memberi perhatian istimewa pada isu kepemimpinan dan kebangsaan.
Salah satu solusi untuk Indonesia yang masuk akal ternyata dibutuhkan pemimpin yang baik. Dari pemimpin yang baik akan dilahirkan sistem yang baik (tradisi paternalistik membuat peran pemimpin menjadi penentu, bukan sistem). Dari sistem yang baik akan tercipta birokrasi yang baik. Dengan birokrasi yang baik, masyarakat akan menikmati kenyamanan dan kesejahteraan.
Salah satu ciri pemimpin yang baik pula, dia akan mengutamakan banyak blusukan ke negerinya sendiri (terutama yang sedang dirundung permasalahan) bukan sebaliknya, banyak blusukanke negeri luar. Investor akan berbondong-bondong datang ke negeri kita bila Indonesia diakui sebagai negara baik; bukan sebaliknya, membujuk-bujuk mereka, merengek-rengek pada mereka. Sudah berbiaya besar, tak ada jaminan berhasil pula!
Rezeki Sublimatif
Prie GS |
Suatu saat ia sedang melawan Lim Swie King dalam sebuah pertandingan panjang yang melelahkan, 215 menit untuk tiga set. Partai yang amat menguras tenaga. Di set terakhir, Swie King hanya butuh menambah satu angka lagi dan pertandingan akan usai dengan gelar Juara Dunia diboyongnya.
Tapi kenyataan itu tak terjadi. King selalu gagal menambah poin karena selalu terjadi adegan pindah bola dengan Icuk pelan-pelan menyusulnya untuk akhirnya malah menyamakan angka. Stadion gemuruh sekaligus tegang oleh tebak-tebakan apa yang akan terjadi. Adakah Icuk yang tak diunggulkan itu akan menumbangkan kebesaran seorang Lim Swie King. Jawabnya ada di satu pukulan Icuk yang membuat King menyerah. Icuk menjadi Juara Dunia dalam usia 20 tahun. Rekor yang belum pecah hingga kini. Satu pukulan, mengubah peta hidup nyaris secara keseluruhan.
Dari mana energi Icuk ini berasal? Ada banyak jurusan tapi salah satunya datang dari kenyataan ini: ia datang ke Jakarta sebagai bibit pemain bukutangkis yang bahkan raket pun tak punya.
Kemiskinan menjeratnya sampai ke ubun-ubun karena saat teman-temannya membeli buah, ia hanya bisa memandang dengan lapar tertahan. "Padahal buah itu hanya sebu
tir jambu," kata Icuk mengenang. Akhirnya ia putuskan, setiap ia kelaparan tanpa bisa jajan, ia malah mengambil sepatu dan lari keliling lapangan. Akhirnya porsi latihannya melebih porsi yang ditakarkan. Hasilnya: "Ada semacam jeniusitas yang berkembang dalam diri saya secara diam-diam," kata Icuk.
Yang terjadi kemudian adalah latihan bak kungfu Shao Lin. Berbulan-bulan seorang murid hanya diminta untuk mengelap meja senantiasa dan kung funya tak ada. Tapi ternyata itulah gerakan yang jika dilayangkan akan membuat lawan pingsan. Itulah efek kenyataan yang telah disublimasikan. Kemiskinan, tekanan, hinaan, sungguh energi besar yang terpendam. Indonesia memiliki tambang energi ini dalam jumlah yang melimpah. Di tekan, dihina, dimiskinkan. Lengkap.
Sayang kelengkapan deposit derita ini tak pernah benar-benar kita manfaatkan. Jumlah tekanan dan hinaan ini tak pernah disublimasikan seperti Icuk melakukan. tapi malah ditambahkan-tambahkan. Sudah tahu negaranya dihina tapi korupsi masih ramai dijalankan. Itulah yang membuat pihak yang dihina malah tambah terhina.
Rezeki Definitif
Prie GS |
Maka, menghentikan bayangan hanya sebatas pada soal-soal yang terbayangkan adalah soal gampang. Jadi jangan heran jika hasilnya juga terbatas pada soal-soal yang berkelas gampangan, yang orang lain mudah meniru dan mendapatkan juga tak perlu latihan. Itulah rezeki para penonton yang bisa diperoleh tanpa harus berusaha kecuali kesanggupannya untuk menonton.
Tapi hasilnya, cuma sebegitulah kelas rezeki penonton. Sudah masuk harus membeli tiket, di dalam harus berisiko menjadi korban tawuran. Sudah rugi duit, rugi pula keselamatan. Beda nian dengan pemain apalagi pemain bintang. Rezekinya sungguh berkebalikan. Apa yang tak diperoleh penonton adalah apa yang diberikan kepada pemain termasuk pujian. Jika ada pemain pujaaan rasanya belum ada penonton pujaan. Bahkan soal pujian saja penonton tak kebagian. Hidup yang tak pernah dipuji sungguh setara dengan mati.
Mudah sekali membayangkan menjadi penonton tapi tak mudah membayangkan menjadi pemain apalagi pemain bintang. Karenanya sedikit saja orang yang mau bersusah-payah bahkan hanya soal membayangkan. Makin sedikit membayangkan, makin sedikit kemungkinan. Makin sedikit kemungkinan makin sedikit peluang. Makin sedikit peluang makin sedikit yang bisa dikerjakan. Makin sedikit pekerjaan makin sedikit yang bisa dihasilkan. Dan itulah asal-usul kemiskinan.
Jadi jelas, betapa prinsipil kedudukan sebuah bayangan. Maka ketrampilan membayangkan benar-benar rezeki besar bagi sebuah peradaban. Bangsa yang terampil membayangkan selalu memimpin di barisan depan. Jika cuma bergantung pada rezeki definitif negara-negara yang miskin sumber daya alam itu sudah otomatis akan dicekik kemiskinan. Tapi anehnya otomatisasi itu tak selalu terjadi sepanjang mereka memiliki imajinasi. Latihan membayangkan soal-soal yang tak terbayangkan benar-benar akan mendatangkan rezeki dalam skala tak terbayangkan. Persoalannya, apa yang sekarang ini sedang kita bayangkan?
Langganan:
Postingan (Atom)