Oleh Darminto M Sudarmo
Tujuan dari lelucon bukan untuk menurunkan derajat manusia, tetapi untuk sekadar mengingatkan bahwa mereka sudah terdegradasi.
George Orwell
Salah satu lelucon paling ganas dan menyengat adalah satire. Meskipun demikian, seganas dan setajam apapun tak akan ada pengaruhnya apa-apa bagi sejumlah elit penguasa maupun pejabat publik bermasalah masa kini. Mereka telah memiliki alat penangkal yang amat canggih dan mustajab, namanya muka tebal. Atau separah-parahnya mati rasa hati nurani.
Apa boleh buat, mungkin mereka merasa nyaman dengan berbekal peribahasa, “Lelucon menggonggong, masalah tetap berlalu”, karena kenyataannya masyarakat kita mudah melupakan, mudah terpesona oleh hal-hal yang serba baru. Kalau guyonan itu dikait-kaitkan dengan situasi Indonesia belakangan ini yang sangat heboh dan berisik; maka makin gayeng adegan pentas yang ada di depan mata kita. Mari kita lihat di bidang politik. Dari pemilukada, konsolidasi partai, lobi-lobi, tawar-menawar posisi, pemetaan ancaman dan peluang, penyiapan strategi hingga banyak lagi lainnya; semua begitu tumplek-blegjadi satu dan berebut prioritas.
Hiruk-pikuk kasus korupsi, prahara di partai politik, bab-bab lanjutan perang urat saraf antara Anas Urbaningrum dan pihak yang disebutnya para Sengkuni, atau Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik kebocoran Sprindik; ikut mewarnai riuhnya opini di media. Bagi sementara masyarakat kondisi seperti ini terkesan berisik, membingungkan dan bikin pening orientasi. Bagi kita, para pencinta humor, kita ramaikan situasi itu dengan tertawa dan menertawakan apa yang ada; begitu saja, agar kita tidak ikut-ikutan gila!
Seperti kita ketahui, kegaduhan politik di Indonesia, belakangan makin menghangat; bahkan memanas. Fenomena itu muncul karena tahun 2014 sudah di ambang pintu. Sejumlah partai politik tiba-tiba menjadi sangat paranoid. Tegang dan reaktif. Seakan di negeri yang masih menanggung utang berbagai persoalan krusial dan substantif ini tak ada urusan lain yang lebih penting selain menyiapkan segala perangkat dan mental untuk menyongsong 2014.
Fakta itu sungguh bikin geli hati. Sebenarnya, dinamika politik itu sehat. Aneka trik, manuver dan strategi para politisi untuk memikat publik luas juga sah-sah saja, sejauh masih dalam koridor etika kepatutan umum dan asas fairness. Politik menjadi ternoda, kotor dan dicemooh ketika ingkar dari terminologi dasarnya yang netral. Makin mencemaskan lagi ketika disinyalir masyarakat terlihat mulai surut kepercayaannya dan skeptis terhadap partai politik karena menyaksikan pentas mereka yang jauh dari harapan.
Di berbagai negara maju, kegaduhan politik itu selalu menarik perhatian para humoris untuk mengkritisisi situasi. Tak terkecuali di negeri kita. Para penulis opini pendek (status), kolom, kartun opini, foto/gambar opini dan aneka komentar tajam di berbagai jejaring sosial bertaburan. Ada yang halus (pasemon), ada yang satire (agak dalam dan serius), hingga ada pula yang sangat kasar (sarkastik). Termuat secara instan, hanya berselang menit atau detik dari publikasi terbuka di berbagai media umum.
Partisipasi para humoris dan peminat humor ini – betapapun sarkastiknya – tetap lebih sehat dibandingkan dengan reaksi anarkis masyarakat yang mengumbar agresivitas. Karena hakikatnya, salah satu fungsi dari lelucon adalah untuk mengeliminasi agresivitas yang berlebihan. Ini sungguh menarik, merujuk George Orwell, dikatakan, "Tujuan dari lelucon bukan untuk menurunkan derajat manusia, tetapi untuk sekadar mengingatkan bahwa mereka sudah terdegradasi."
Politisi di Mata Humoris
Berbicara tentang politik tentu tak dapat mengabaikan peran para politisi. Sesungguhnya, politisi itu makhluk seperti apa di mata para humoris? Berikut komentar (lelucon) mereka tentang politisi.
“Politisi buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk memperkaya diri dan golongannya; sedangkan politisi baik adalah sekelompok politikus yang belum ketahuan kedok atau belangnya.”
Ketika kepada mereka ditanyakan tentang tokoh-tokoh dan pemimpin besar dalam sejarah, “Apakah itu berarti mereka juga penjahat yang belum terbuka kedoknya?”, maka spontan dijawab, “Mereka bukan politisi baik, tetapi negarawan tulen.”
Sulit dihindari munculnya citra miring tentang politisi karena sepak terjangnya yang khas dan cenderung bebal, “Politikus itu sama saja dengan popok bayi. Keduanya harus diganti secara teratur untuk tujuan dan alasan yang sama.”
Bahkan sebuah sindiran yang sangat tajam dan mengejutkan memberi gambaran sebagai berikut tentang politisi:
Seorang wanita pergi berkonsultasi ke seorang dokter. Wanita itu mengeluhkan kalau suaminya belakangan ini telah berkecenderungan ke seks anal, ia ragu apakah itu baik untuk kesehatan.
"Apakah Anda menikmatinya?" tanya dokter.
"Yah, apa boleh buat."
"Apakah Anda menikmatinya?" tanya dokter.
"Yah, apa boleh buat."
"Apakah itu menyakitkan bagi Anda?" tanya dokter.
“Tidak juga, sih, tapi.... "
"Nah,” dokter melanjutkan,"tidak masalah kalau itu sudah menjadi kesepakatan bersama, hanya saja Anda harus berhati-hati agar tidak hamil. "
Wanita itu bingung. "Apa? Anda bilang, bisa hamil dari seks anal? "
"Tentu saja," jawab dokter. "Menurut Anda, politisi itu datang dari mana?”
“Tidak juga, sih, tapi.... "
"Nah,” dokter melanjutkan,"tidak masalah kalau itu sudah menjadi kesepakatan bersama, hanya saja Anda harus berhati-hati agar tidak hamil. "
Wanita itu bingung. "Apa? Anda bilang, bisa hamil dari seks anal? "
"Tentu saja," jawab dokter. "Menurut Anda, politisi itu datang dari mana?”
Kasus-kasus korupsi juga menjadi biang kegaduhan politik. Kasus korupsi yang terkait dengan simulator SIM yang membuat Irjen Pol Djoko Susilo jadi tersangka dan istri mudanya Dipta Anindhita dipanggil KPK, langsung menggelitik humoris untuk meluncurkan leluconnya, “Di balik setiap pria sukses selalu ada seorang wanita di belakangnya. Di balik setiap pria sukses yang jatuh, selalu ada wanita lain di belakangnya.”
Tentang koruptor-koruptor “religius” juga bukan isyu baru. Modus yang dia pakai juga merupakan fenomena universal yang terdapat di berbagai negara. Salah satu lelucon pendek (oneliner) yang ditulis humoris asing menyiratkan semangat itu, bahwa sejak kecil pun, seorang bocah sekalipun, sudah memulai bersiasat, agar kesalahannya terkesan cair dan menjadi sosok yang inosense karena telah melakukan hal yang dianggapnya religius, “I asked God for a bike, but I know God doesn't work that way. So I stole a bike and asked for forgiveness.”
Kecenderungan korup ada di semua lapis kekuasaan, karena ujian bagi setiap penguasa selalu berupa tekanan atau godaan. Mungkin agak berlebihan bila mengklasifikasikan perilaku korup sebagai elan, kredo atau ideologi untuk mencapai target-target heroik karena apa yang dilakukannya dapat meyelamatkan partai atau golongan dari krisis finance yang dideritanya. Ini tidak selalu berkaitan dengan korupsi dan pengadaan sapi impor, bisa juga soal-soal lain. Siapa saja dapat terjebak di dalamnya. Pepatah lama yang menyebut-nyebut “tikus” sebagai metafora koruptor mengatakan, “The early bird might get the worm, but the second mouse gets the cheese.”
Mengapa para pelaku korupsi dapat bersikap tenang bahkan berani bersumpah secara meyakinkan dengan ekspresi datar tanpa dosa? Tidak perlu kaget, di sinilah para pelaku korupsi memainkan bahasa tubuh mereka secara rileks dan nyaman; apalagi bila dia berjenis kelamin laki-laki. Pepatah lama saja mengatakan, “Women might be able to fake orgasms. But men can fake a whole relationship.”
Kegaduhan politik memang tidak harus disikapi dengan reaksi ikut-ikutan panik dan kehilangan orientasi. Mungkin kita perlu sedikit mengendorkan urat saraf, memompa rasa humor yang selama ini terkubur dalam-dalam agar dapat melihat situasi dengan cara pandang yang lain. Nasihat Gene Perret, untuk membangkitkan rasa humor yang baik kita perlu mengasah tiga hal; pertama, mengasah kemampuan untuk melihat; kedua, mengasah kemampuan untuk mengakui; dan ketiga, mengasah kemampuan untuk menerima fakta sebagaimana adanya.
Dengan demikian, rasa humor dapat menjernihkan pikiran dan membebaskan kita dari prasangka-prasangka yang membebani.
(Dimuat di Harian Jawa Pos, 13 Maret 2013 – dengan judul: Bersatire Agar Tidak Gila – artikel ini merupakan naskah asli sebelum dilakukan penyuntingan).
0 komentar:
Posting Komentar