M DJOKO YUWONO |
PEMILU yang diikuti oleh banyak partai merupakan implementasi pasal 34 konstitusi RIS dan pasal 35 UUD Sementara 1950. Kedua konstitusi tersebut merupakan hasil penetrasi bangsa imperialis-kapitalis kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian, pemilu banyak partai adalah bukti kemenangan kaum komprador dalam menguasai negeri ini. Ini kemudian disadari oleh Bung Karno sehingga keluarlah Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945.
Fakta ini juga disadari oleh Soeharto. Maka, segera setelah memegang tampuk kekuasaan Soeharto bukan mendirikan partai, melainkan memperkuat sebuah golongan besar yang disebutnya GOLKAR sebagai penampung berbagai macam kelompok dalam masyarakat untuk bermusyawarah mufakat dalam mengatasi persoalan bangsa.
Bila pada awal berdirinya NKRI fasisme menjadi alasan bagi bangsa imperialis-kapitalis untuk mengeksploitasi mental budak bangsa ini, pada pemerintahan Soeharto ketergantungan ekonomi menyebabkan mental budak pun kambuh, dan terselenggaralah pemilu dengan sistem banyak partai lagi, sampai kemudian muncul kesadaran perlunya meringkas banyak partai hanya menjadi dua partai (PPP dan PDI) plus satu golongan (Golongan Karya).
Untuk "mengingatkan" pada seluruh anak-anak bangsa bahwa dirinya tidak mampu melakukan perlawanan terhadap tekanan imperialis-kapitalis, Soeharto pada tahun 1972 mengubah tanggal 17 Agustus menjadi HUT Republik Indonesia, bukan Hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ini artinya Soeharto sedang memberitahu anak-anak bangsa bahwa dirinya tidak melaksanakan UUD 1945, melainkan UUDS 1950—mengingat yang menyatakan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai HUT RI hanya pembukaan UUDS 1950.
“Kepatuhan” bangsa ini pada bangsa imperialis-kapitalis terus berlanjut setelah lengsernya Presiden Soeharto. Bila di era Soeharto mental budak mengakibatkan anak-anak bangsa tak mampu mengadakan perlawanan secara keseluruhan, maka pada era reformasi mental tersebut telah membuat anak-anak bangsa dengan riangnya menerima penjajahan atas ide dan gagasan imperialis-kapitalis. Bentuk kegembiraan tersebut dinyatakan melalui amandemen UUD 1945, yang justru mengukuhkan UUD Sementara 1950. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang ironis dan konyol. Apa yang menjadi alasan sehingga perlu dilakukan amandemen UUD 1945, mengingat UUD 1945 itu sendiri belum pernah dilaksanakan secara konsekuen sejak NKRI berdiri sampai hari ini?
Maka, beralasanlah jika kecurigaan kita alamatkan pada kepentingan bangsa imperialis-kapitalis atas amandemen tersebut, justru melalui tangan-tangan para anak negeri ini sendiri. Duh…
Fakta ini juga disadari oleh Soeharto. Maka, segera setelah memegang tampuk kekuasaan Soeharto bukan mendirikan partai, melainkan memperkuat sebuah golongan besar yang disebutnya GOLKAR sebagai penampung berbagai macam kelompok dalam masyarakat untuk bermusyawarah mufakat dalam mengatasi persoalan bangsa.
Bila pada awal berdirinya NKRI fasisme menjadi alasan bagi bangsa imperialis-kapitalis untuk mengeksploitasi mental budak bangsa ini, pada pemerintahan Soeharto ketergantungan ekonomi menyebabkan mental budak pun kambuh, dan terselenggaralah pemilu dengan sistem banyak partai lagi, sampai kemudian muncul kesadaran perlunya meringkas banyak partai hanya menjadi dua partai (PPP dan PDI) plus satu golongan (Golongan Karya).
Untuk "mengingatkan" pada seluruh anak-anak bangsa bahwa dirinya tidak mampu melakukan perlawanan terhadap tekanan imperialis-kapitalis, Soeharto pada tahun 1972 mengubah tanggal 17 Agustus menjadi HUT Republik Indonesia, bukan Hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ini artinya Soeharto sedang memberitahu anak-anak bangsa bahwa dirinya tidak melaksanakan UUD 1945, melainkan UUDS 1950—mengingat yang menyatakan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai HUT RI hanya pembukaan UUDS 1950.
“Kepatuhan” bangsa ini pada bangsa imperialis-kapitalis terus berlanjut setelah lengsernya Presiden Soeharto. Bila di era Soeharto mental budak mengakibatkan anak-anak bangsa tak mampu mengadakan perlawanan secara keseluruhan, maka pada era reformasi mental tersebut telah membuat anak-anak bangsa dengan riangnya menerima penjajahan atas ide dan gagasan imperialis-kapitalis. Bentuk kegembiraan tersebut dinyatakan melalui amandemen UUD 1945, yang justru mengukuhkan UUD Sementara 1950. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang ironis dan konyol. Apa yang menjadi alasan sehingga perlu dilakukan amandemen UUD 1945, mengingat UUD 1945 itu sendiri belum pernah dilaksanakan secara konsekuen sejak NKRI berdiri sampai hari ini?
Maka, beralasanlah jika kecurigaan kita alamatkan pada kepentingan bangsa imperialis-kapitalis atas amandemen tersebut, justru melalui tangan-tangan para anak negeri ini sendiri. Duh…
0 komentar:
Posting Komentar