Prie GS |
Terus mencari titik terjauh, itulah laju demokrasi Indonesia. Apa saja kini diamati oleh demokrasi. Di bidang hukum, para pelanggar tak mudah lolos begitu saja dari jerat hukum mulai dari koruptor hingga pencuri sandal. Siapa saja pelanggar hukum, harus berhadapan dengan hukum. Siapa saja penunggak listrik harus diputus tak peduli itu kantor Pemerintah tempat PLN menjalankan perintah. Pemerintah menyuruh PLN untuk memutus listrik milik Pemerintah, itu luar biasa dan itu bisa terjadi. Dan itulah kehebatan demokrasi.
Tetapi tak seluruh dari demokrasi berisi kabar gembira. Karena kekuatan demokrasi itulah sekaligus kelemahannya. Sepanjang cara-caranya demokratis, apa saja boleh ada dan boleh berlangsung, tak peduli apakah ia adalah sesuatu yang kita benci. Kealpaan rata-rata bangsa yang sedang puber demokrasi di dunia ialah: mereka membayangkan cuma kebebasannya, kemudahannya, kemerdekaannya, tak terkecuali kita. Bayangan itu nyaris tidak pernah ada di kebalikannya: kerumitannya, kerepotannya dan paradoks-paradoksnya.
Untuk mengatasi situasi paradoks itu saja kita tidak memiliki persiapan secukupnya. Hasilnya, setiap matra selalu berkonotasi ganda, dan itu amat membingungkan publik. Contoh mudahnya begini: jika seorang pejabat publik membeli mobil buatan dalam negeri langsung menimbulkan komplikasi tafsir yang tak sederhana. Yang satu memuji sebagai praktek hidup sederhana, yang lain menganggap ini tendensi politik dan cari muka. Malangnya, delapan puluh persen penduduk sebuah negara berkembang selalu berisi para awam tak terkecuali kita. Jadi kebingungan tafsir selalu menjadi soal yang nyata.
Di sebagian sisi, beginilah mestinya pejabat publik, dan beginilah mestinya adab konsumsi kita kepada barang-barang dalam negeri. Ia hanya bisa bertumbuh kalau dicintai. Benar, ada banyak sekali persoalan kemerosotan daya saing. Ada saja persoalan tentang apa yang disebut kualitas dalam negeri itu. Jika ia bernama jembatan (tiruan) misalnya, kita meniru cuma sekadar bentuknya, tetapi tidak keseluruhan dari etosnya. Hasilnya yang ditiru masih megah berdiri, penirunya sudah ambrol lebih dulu.
Tetapi bukti bahwa kita sudah sanggup meniru dan bahwa jembatan itu benar-benar jadi dan pernah benar-benar berfungsi, adalah bukti bahwa kemampuan dalam negeri itu, secara teknikal ada, walau secara fundamental masih terkendala. Tetapi kecerdasan teknis adalah kecerdasan pertama yang sebetulnya layak terus diapresiasi. Siapa saja yang kekurangan pujian dan atensi akan beku dan mati. Semua kebudayaan maju selalu budaya yang dikelilingi oleh budaya menumbuhkan bukan budaya mematikan. Itulah budaya yang kelak akan mengokohkan kecerdasan fundamental. Pada saat kecerdasan fundamental itu menguat, itulah saat ketika paradoks dalam demokrasi akan menurun. Jelasnya begini:
Jika sebuah mobil dalam negeri laris, itu bukan transaksi politis, tapi benar-benar akan ditafsirkan sebagai sukses sebuah produk. Jika Tom Hanks membeli mobil hybrid, misalnya, bukan lagi karena ia ingin dianggap mulia, atau biar terpilih sebagai aktor terbaik di musim Oscar periode depan, melainkan karena ia memang dipercaya sebagai aktor dengan kepekaan lingkungan. Bisa saja keputusannya dianggap cari muka, tetapi Tom Hank saya kira akan baik-baik saja karena ia memang yakin pada mukanya. Sebaliknya, di dalam paradoks demokrasi yang masih tinggi, tak mudah menfasirkan segala sesuatu, karena memang tak mudah menyimpulkan niat.
0 komentar:
Posting Komentar