Prie GS |
Kenapa prestasi badminton Indonesia merosot? Inilah analisa saya. Pertama karena sistem rally point itu tidak cocok dengan kultur kita. Saya tidak tahu mengapa, tetapi faktanya, sejak sistem itu berlaku, prestasi kompetitor meningkat dan kita menurun. Target pembuat sistem rally point untuk membuat bulu tangkis lebih populer bisa jadi tercapai, tapi dengan kita sebagai korbannya. Sistem itu cocok untuk mereka tapi tidak bagi kita. Begitu cocoknya sistem itu dengan kita sampai begitu begitu kuat dominasi kita atasnya dan itu membuat pihak-pihak tertentu tidak rela.
Mereka menganggap sistem lama akan membuat olah raga ini kurang populer dan hanya akan diminati oleh segelintir pelaku saja. Anggapan itu salah. Sejak lama bulu tangkis sudah populer. Justru sistem sebelumnya itulah yang membuat olah raga ini besar dan melahirkan banyak legenda. Soal bahwa hanya ada sedikit peminat atau banyak peminat, itu tak ada hubungan dengan kebesaran oleh raga ini. Itu hanya ada hubungannya dengan hitung-hitungan industri. Panjat tebing, pendaki gunung, itu sepi penonton, sepi tepuk tangan, tetapi tak pernah kekurangan peminat. Selalu ada saja orang yang mendaki dan memanjat walau tanpa ditepuki. Jadi di dalam olah raga dan profesi berlaku apa yang disebut panggilan otentik. Rally point itu adalah soal yang amat otentik, setidaknya bagi kita. Ingat tekanannya adalah ‘’bagi kita’’. Kenapa? Karena kita bangsa yang banyak membuang unsur ‘’kita’’ di setiap kebijakannya.
Artinya: di setiap cabang olah raga atau cabang apa saja, selalu punya watak dan martabatnya sendiri. Letak nilai para pendaki gunung pasti karena sulit dan tingginya, bukan rendah dan mudahnya. Tidak bisa puncak Jayawijaya atau Everest dikepras saja agar lebih rendah, agar bahkan ibu-ibu bisa mendakinya dan olah raga ini menjadi hiburan keluarga. Tidak bisa kepada seorang pendaki tebing boleh dengan cara naik helikopter agar bahkan anak-anak pun bisa ikut olah raga ini.
Sebuah cabang olah raga, tak perlu takut menyulitkan atau ditolak cuma karena sulit dan tidak cocok bagi pihak lain. Kepada mereka silakan mengambil cabang lain yang cocok. Sebuah cabang olah raga harus tetap dibiarkan memelihara unsur terbaiknya. Unsur terbaik tinju adalah kerasnya pukulan. Memang risikonya bisa membuat lawan pingsan tetapi begitulah nilai sebuah watak. Ia kuat dan tegas dalam keputusan tak peduli apakah orang menyukai, cocok atau membenci. Kepada tinju tak bisa dibuat agar pukulan itu diganti elusan saja demi agar pasangan orang yang berpacaran pun bisa ikut perlombaan. Bagi pihak yang tidak cocok bisa menjatuhkan ke lain pilihan.
Sistem lama yang penuh perpindahan itu memang melelahkan, kadang seperti basa-basai, pindah berkali-kali, menjengkelkan dan menyebalkan tapi karena itulah ia menjadi menegangkan. Karena itulah kita menang karena soal basa-basi itu kita terlatih. Soal betel-tele itu kita juga punya akar budayanya. Soal membuat lawan jengkel dengan cara pindh betkali-kali seperti itu, kita juga punya tradisinya.
Jadi ketika semua itu dihilangkan, tercabutlah permaian ini dari watak kita yang selama ini lengkap terakomodasi. Benar, sistem baru itu mengakomodasi pihak lain, tetapi tidak untuk diri sendiri. Inilah kemudian intinya: selama ini, terlalu banyak aneka keputusan yang tidak berbasis pada bakat dan realitas kita sendiri. Ini terjadi di hampir seluruh cabang urusan mulai dari darat, luat, dan udara. Di darat kita hanya pemain cadangan karena semua jenis kendaraan, hasil tambang, pusat perbelanjaan, bahkan bank mulai didominasi asing. Pendeknya, terlalu banyak jenis keputusan yang mengizinkan posisi kita tidak sebagai si pemegang peran.
1 komentar:
Editorial yang menawan! Kita seakan menjadi tamu di rumah sendiri... Kapankah menjadi tuan rumah yang ramah dan bijak?!
Salam sahabat; saya langsung Follow #4 (CahNdeso), bila tidak keberatan sudilah follow balik, thanks..
Posting Komentar