Prie GS |
Dan inilah soal-soal yang menurut saya mengurangi kekuatan masyarakat di hadapan persoalan itu: Pertama, kegagalan kepemimpinan. Ini adalah episode paling berbahaya dalam setiap cerita perpecahan. Kepemimpinan yang sukses selalu sukses menyatukan apa saja. Jangankan naluri bersatu, naluri bercerai saja bisa disatukan. Di setiap manusia ada naluri bersatu dan bercerai. Dan di tangan pemimpin hebat, naluri bersatu itu akan membesar dan naluri bercerai akan mengecil.
Lalu apa ciri paling menonjol dari pemimpin hebat? Ternyata bukan tongkrongan fisiknya, bukan pidatonya, bukan pula kekuasaan politiknya, melainkan kebersihan moral dan keteguhan prinsipnya. Banyak pemilik moral baik tetapi tidak cukup kuat dalam prinsip. Banyak kekuatan prinsip tetapi tidak digunakaa untuk moral-moral besar. Malah ada kekuatan prinsip itu sekadar digunakan untuk adu nyali. Misalnya: ‘’Keliru saja saya berani, apalagi benar.’’ Pemegang prinsip ini jelas kuat sekali tak peduli dia sedang benar atau sedang keliru. Tentu, pada prakteknya, tidak ada kekeliruan yang benar-benar kuat walau orang yang sedang keliru itu bisa saja adalah orang yang sedang kuat.
Maka ketika ada seorang pribadi yang sanggup menggabungkan keduanya, kebersihan moral dan keteguhan prinsip sekaligus, hasilnya akan luar biasa. Ia mengagumkan dan menakutkan karena jika segala sesuatu bertentantangan dengan prinsipnya akan dia hadapi tanpa peduli apapun taruhannya. Dibanding prinsip yang ia yakini, semua jenis taruhan kecil di matanya, tak terkecuali nyawa sendiri. Jika di sebuah wilayah tersedia figur semacam itu, apapun jenis kerusuhannya akan mereda jika orang ini sudah menjadi juru damainya. Atau karena ada tokoh semacam ini, kerusahan itu malah tidak perlu benar-benar ada. Banyaknya krisis sosial biasanya juga ditandai oleh rendahnya jumlah tokoh pemersatu dengan kualitas semacam ini.
Penyebab watak sumbu pendek lainnya sebenarnya hanya bersifat pelengkap dan pendukung. Di setiap kepemimpinan yang gagal akan ada banyak sekali kegagalan mulai dari etika sosial sampai hukum. Jika kegagalan etika saja gagal diatasi apalagi kegagalan hukum. Maka etika dan hukum bisa serempak terjadi. Sekarang ini orang bisa tidak ragu-ragu lagi menutup jalan jika sudah mengatas namakan hajat kebaikan. Hajat baik itu tentu saja baik tetapi niat baik yang sudah mendatangkan keangkuhan itulah yang menyebabkan bahkan kebaikan tidak selalu membuahkan kebaikan.
Pendukung berikutnya adalah anak turun dari semua nilai ini, termasuk pola dan kebiasaan hidup. Hari ini ada begitu banyak kebiasaan publik yang merosot baik dalam soal berolah raga, mendengarkan musik sampai pola makan. Memainkan organ tungal pasti lebih disukai katimbang berlatih piano. Makan enak pasti lebih disukai katimbang makan sehat. Katimbang menyetel musik-musik tradisi, banyak penyelengara hajatan lebih suka menyetel dangdut koplo atau pentas dangdutan dengan risiko tawuran setiap kali.
0 komentar:
Posting Komentar