M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung - Tabloid O-Posisi
KEMENANGAN pasangan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 seakan mewujudkan kembali nafsu Mataram untuk menguasai bandar Batavia pada abad ke-17. Dulu Sultan Agung yang “nasionalis” dua kali gagal menyerang Batavia karena terlalu percaya diri, di tengah pengkhianatan Banten dan Cirebon yang takut kesultanan dari Jateng itu menguasai bandar strategis tersebut. Kekacauan logistik, kecerobohan intelijen strategis mereka, dan kurangnya dukungan “akar rumput” membuat serangan mereka mandul.
Aneh tapi nyata! Di salah satu fron, pasukan Mataram yang gagah berani malah dilawan pakai siraman tai oleh tentara sewaan Kompeni.
Kini, dalam setting, kemasan, dan semangat yang berbeda, “kemenangan utusan Mataram” atas Jakarta di awal abad ke-21 ini menjadi keduakalinya setelah Walikota Syamsurijal yang sama-sama datang dari Surakarta sebelum masuk ke Jakarta. Untuk yang kali ini, “utusan Mataram” mendapat back-updari keturunan Dinasti Ching. Kelompok etnis ini sudah bercokol di Jakarta sejak lama sebelum para bule menjajahnya dan semakin meningkat setelah Kompeni mendatangkan pekerja terampil dari Tiongkok.
Kemenangan Daya Kritis
Lolosnya duet Jokowi-Ahok antara lain mengusung citra sebagai pemimpin prorakyat, praktikal, logis. Dalam salah satu survei stasiun TV nasional, pemilih pasangan ini terbesar justru lulusan perguruan tinggi, kelompok kritis, berpengetahuan, memiliki wawasan luas berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Sedangkan duet Foke-Nara terbanyak didukung oleh lulusan SD yang merupakan kelompok kurang kritis, kurang berpengetahuan, emosional, mudah dipermainkan isu primordial.
Jakarta Utara
Kecuali di Kepulauan Seribu, duet “Mataram dan Ching”menang besar di Jakarta Utara dalam “pertempuran” 20 September lalu. Pada abad ke-17, dulu, pasukan Sultan Agung membangun pos penyerbuan di Marunda. Daerah “kumuh” ini strategis dan dipakai pula oleh seorang admiral Inggris, Sir Samuel Auchmuty, Agustus 1811, untuk menyerang Kompeni di Batavia hingga Meester Cornelis. Hingga sekarang Jakarta Utara menjadi pintu masuk pendatang baru dari daerah. Strategis, tapi tak terolah baik oleh duet Foke-Nara.
Dikalahkan Tai
Ini kejadian lucu yang dilaporkan orang Jerman, Johan Neuhoff, dalam buku Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an den Tatarischen Cham, dan dituliskan pula oleh Raffles dalam The History of Java II.
Tahun 1628 Sultan Agung menyerang Batavia dengan ribuan pasukannya, di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa, dari darat dan laut. Semua gagal, sebab Belanda sudah mengantisipasi. Tahun 1629 serangan diulang dengan lebih besar. Di dinding benteng Hollandia, Batavia selatan, pasukan Mataram menekan Kompeni sampai kehabisan amunisi. Yakin Kompeni tak bisa menembak, pasukan Mataram memanjat dinding. Bingung karena tak ada amunisi lagi, muncul ide gila dari prajurit bayaran Kompeni asal Jerman, Hans Madelijn. Teman-temannya diminta menguras kakus pakai topi mereka dan menyiramkannya ke pasukan Mataram yang hampir mencapai puncak dinding.
Aneh, “senjata ganjil” yang hingga sekarang belum ada dalam referensi von Clausewitz—bahkan Sun Tzu pun—itu ternyata manjur. Pasukan Mataram melorot turun sembari menyumpah : “O, seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!” Kata ini terekam sebagai kalimat Melayu pertama dalam buku Jerman. Babad Diponegoro menceritakan, “komandan” serangan Ki Mandurareja dan para adipati berlumuran tai bule ini, lantas pulang untuk mandi sambil menyumpah-nyumpah tak keruan.
Maka, ada plesetan nama Betawi dari kata “mambet tai” atau berbau tai. Bahkan, daerah Hollandi dijuluki sebagai Kota Tai hingga abad ke-18.
Kuras Kakus dan Kali
Sayang sekali, duet Foke-Nara tidak memakai “amunisi antik” itu dalam dua pertarungan yang semuanya tidak dimenanginya. Kalau saja pakai teknik zaman baheulaseperti ide gila Hans Madelijn itu, pasti akan ada perbedaan hasil. Dan, rakyat Jakarta bisa senang karena seluruh WC di Jakarta bisa bersih dan kosong. Kalau biasanya orang berhajat besar atau kecil harus membayar (ini sebenarnya tindakan kejam, tidak manusiawi) hari itu tidak. Malah gratis dan terarah. Kakus umum yang di gang-gang dan nangkring di pinggir kali Ciliwung yang jorok bisa bersih. Kali-kali kecil yang selama ini jorok, mampet, berbau, bisa terkeruk dan terkuras bersih.
Kelihatannya perlu gebrakan mengejutkan guna mencairkan rutinitas, ortodoksi, yang biasa diderita birokrat yang sudah lama bercokol. Perlu ada pemimpin yang berjiwa kewirausahaan yang mampu melihat peluang-peluang dan membungkus kegiatan secara menarik. Jakarta perlu nadi baru sesudah Ali Sadikin dulu.
Perlu gebrakan, lalu terus memperbaiki sesuai tuntutan keadaan. Tapi, ya jangan pakai ide Hans Madelijn itu-laaaaahhhhh. He-he-he ....
0 komentar:
Posting Komentar