Darminto M Sudarmo |
LAWAK hanyalah kesenian kelas jongos. Orang-orang rendahan. Rakyat jelata. Metafora kelas itu digambarkan dalam pertunjukan Goro-goro, Limbuk-Cangik, dan Togog-Bilung di wayang kulit. Di kesenian tradisional lain seperti ketoprak atau ludruk, suasana penuh guyon juga hanya muncul ketika para abdi, pembantu, dayang-dayang berkumpul dan bercengkerama. Ungkapan mereka lewat bahasa egaliter, kadang kasar, menyentil, dan apa adanya menggambarkan tradisi sekaligus cap bagi posisi mereka.
Tradisi melawak, geguyonan, berlelucon, bebodoran, selengekan, cengengesan hanya pantas dilakukan orang-orang dari kelas sosial tersebut. Orang-orang dari kelas sosial menengah atau tinggi harus serius atau tampak serius; karena itulah makna wibawa sebenarnya. Dalam cengkeraman feodalisme itulah tradisi lawak merangkak, tertatih-tatih, dan tumbuh. Dalam cibiran dan kerlingan sebelah mata “kaum terpelajar” pada masanya eksistensi lawak dianggap dan dinilai. Sangat berbeda dari seni lukis, seni sastra, dan seni suara. Kontras, bak bumi dan langit.
Tak sulit menemukan nama Raden Saleh, Soedjojono, Affandi, atau Hendra Goenawan ketika orang menelusuri masa lalu seni lukis. Para seniman sendiri memiliki tradisi diskusi dan berliterasi, sehingga jejak-jejak sejarah semakin otentik. Para pengkaji juga aktif memberi warna dan peta. Seni sastra, lebih-lebih lagi. Sejak kelas satu SMP, kita “dipaksa” mengerti apa itu puisi, prosa, sajak, pantun, Poedjangga Baroe, Angkatan 45, hingga Chairil Anwar. Seni suara? Sejak TK bahkan anak-anak mengisi waktu dengan bermain dan bernyanyi. Sebuah anugerah yang melimpah.
Seni lawak? Sungguh pertanyaan yang tak tahu diri. Apalagi mengharapkan informasi terstruktur dan kronologis. Siapa peduli sejarah lawak Indonesia? Inilah jawabannya. Karena kaum terpelajar dan cendekiawan di masa lalu (setidaknya tahun 1920-1970) beranggapan bahwa lawak hanyalah persoalan selingan ringan, maka tak penting juga untuk mengkaji dan membahasnya. Generasi generasi sekarang pun nyaris tak mendapatkan jejak dan dokumentasi memadai. Ini benar dan serius.
Sekarang kita bisa mendapatkan serpihan informasi tentang lawak atau tokoh lawak masa lalu di internet atau buku. Dari informasi alakadarnya itulah kita meraba masa lalu seni lawak Indonesia.
Mari kita lihat potongan informasi tentang Srimulat di Wikipedia. Grup ini didirikan oleh R.A. Srimulat dan Teguh Raharjo pada 1950 dengan nama Gema Malam Srimulat. Awalnya ia kelompok seni keliling yang pentas dari satu kota ke kota lain. Nah, kalau kita kaji lebih mendalam, siapa sebenarnya R.A. Srimulat itu? Dari kasta apa dia berasal? Bagaimana reaksi masyarakat feodal pada 1950-an ketika melihat seorang perempuan dari kasta bangsawan terjun ke kesenian di lingkungan kasta rendah?
Inilah bagian yang menyentak. Menantang arus. Heroik. Sekaligus ajaib! Kalau ini dikorelasikan dengan pertanyaan siapa peletak dasar seni lawak Indonesia, jawaban saya adalah Srimulat! Tentu tak hanya berbasis spirit, tetapi juga karena kekuatan metodologi dan manajemen organisasinya.
Lalu siapa perintis format lawak modern? Karena format pertunjukan kelompok Srimulat tergolong “kolosal”, terutama dengan adanya unsur nyanyian dan tarian, maka format duet Mang Cepot dan Mang Udel –selanjutnya membentuk trio Los Gilos (bersama Bing Slamet) pada 1958– yang lebih praktis dan langsung mengacu ke pertunjukan lawak an sich, bisa jadi menjadi model rujukan bagi grup lawak generasi berikutnya. Mungkinkah format demikian karena pengaruh dari luar? Siapa dapat menafikan peran The Three Stooges, Abbott-Costello, Laurel-Hardy, atau Charlie Chaplin?
Waktu pun bergulir. Puncak pencapaian atau katakanlah jejak-jejak kelompok kemudian tercatat dalam perlawakan modern; dari Kwartet Jaya hingga Project Pop. Sejak grup lawak tampil on air di TV, mereka langsung masuk barisan selebritas. Posisi naik, penghasilan naik, citra diri juga naik. Feodalisme pelan-pelan luntur.
Ketika masyarakat menyadari bahwa lawak bukan hanya produk seni cengengesan tapi juga bagian dari produk seni intelektual, anggapan tentang lawak sebagai kesenian kelas jongos pun pupus. Maka, kealpaan yang pernah terjadi di masa lalu sebaiknya kita kubur dalam-dalam dan segera kita lupakan!
0 komentar:
Posting Komentar