M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung
UPS, maaf, memakai judul aneh. Sejatinya Belgeduwelbeh itu nama seorang raja dalam cerita perwayangan. Raja ini berpostur tinggi, baik hati, welas-asih, lembut, tapi juga jenaka dan kerap naif. Semua keputusan yang diambilnya selalu aneh, tak tepat sasaran, membingungkan, dan yang lebih mengenaskan: tidak pernah efektif. Dia menikmati sekali kedudukannya sebagai raja sehingga gemar pamer dan bersenang-senang, menyanyi dengan mengundang pesinden terkenal.
Raja Belgeduwelbeh tak punya selera. Rasa seninya naif, cengeng, pun selera kulinernya rendahan. Kenapa semuanya terjadi? Ya, karena Raja Belgeduwelbeh berasal dari “kawula alit”, kasta rendahan, nama aslinya Petruk (di Jawa Barat namanya Dawala). Dia salah seorang dari empat punakawan pengawal titisan Wisnu, berbadan tinggi. Pikirannya lurus, memandang semua masalah dengan rasa humor tinggi, bijaksana, menjadi penasihat jempolan buat Sri Rama maupun Pandawa.
Namun, peran dia di dunia hanyalah punakawan, pelayan saja. Oleh karena itu, jangan diharapkan ada keputusan berani, bertanggung jawab, dan gesit muncul darinya. Semuanya serba normatif. Oleh sebab itu, ketika menjadi raja, dia jadi kehilangan kepribadian. Kedudukan itu tidak cocok untuk orang seperti dia, sebaik-baik apa pun. Semua punya fungsi dan peran masing-masing dari Yang Mahakuasa, tak bisa ditukar-tukar atau diakal-akali. Pasti ketahuan.
Celakanya, akibat negerinya sedang ribut gonjang-ganjing reformasi, semua tokoh kasta kesatria dan brahmana pada ribut cari kesempatan. Mereka lupa bahwa azimat berupa amanat rakyat kawula alit tertinggal. Maka, Petruk dengan lihainya mencuri azimat tersebut dengan bantuan asing, pengusaha besar, maling, perampok, serta para intel keblinger. Akhirnya, Belgeduwelbeh memang jadi raja, tapi dengan mentalitas kawula alit, pelayan, dan bukan kesatria yang gagah berani.
Akibat dari itu, Raja Belgeduwelbeh menjadi raja lemah, rentan terhadap tekanan, karena dia takut rahasianya terbongkar. Dia menjadi sandera, gampang dicekik lehernya untuk deal-deal politik-ekonomi-sosial. Maka dari itu, pemerintahan negeri Raja Belgeduwelbeh lemah sekali. Para pejabat seenaknya karena merasa raja toh tak mampu berbuat tegas. Arah pembangunan tidak jelas. Cadangan devisa kian menipis selama tiga tahun terakhir, walaupun pernah jaya di tahun 2007.
Parahnya lagi, aparat negara yang malas bekerja tapi rajin ngobyek, malah menggunakan para preman untuk operasionalnya. Mereka, di negeri yang lemah terhadap tekanan paham HAM asing, ketakutan untuk bergerak. Sebab, kalau mereka bersalah, Raja Belgeduwelbeh dipastikan cuci tangan.
Belum lama ini Raja Belgeduwelbeh minta bayangkara negeri menindak ormas yang melakukan tindak kekerasan. Sudah tiga kali ia mengatakan itu, keadaan tidak berubah. Jadi, itu hanya untuk konsumsi publik sesaat supaya rakyat merasa yakin dan percaya. Tapi, masa iya harus tiga kali bikin gertakan kosong seperti itu? Jangan sampai Raja Belgeduwelbeh malah jadi bahan tertawaan dunia dan rakyatnya. Raja juga lemah menghadapi tekanan asing, karena takut dijatuhkan. Pabrik mobil dalam negeri tak hidup sebab mobil digelontor dari luar negeri. Bahan, makanan saja semua harus diimpor, sebab pemerintahannya memang tidak mampu lagi. Ibaratnya: ayam mati di lumbung padi. Bahkan pula, lahan pertanian pun mulai dijual ke asing.
Azimat itu tampaknya mejan alias mandul. Sebab, berada di tangan orang yang salah di waktu yang keliru. Azimat itu secara faktual legal, tapi jelas tidak amanah karena banyak mendatangkan mudarat rakyat. Ini mungkin karena azimat itu “colongan”, tidak yang bersifat hak. Lantas? Si Raja Belgeduwelbeh bikin rakyat "dedel duwel kabeh". Oh!
0 komentar:
Posting Komentar