M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung
KEJADIAN berikut ini, yang akan dituturkan secara jujur, harus diakui terus terang hanya terjadi di dunia khayalan. Jadi, tidak boleh dipercaya. Tapi, kalau pembaca nekat mengikutinya, silakan saja. Anda akan masuk dunia “kegilaan” yang mengasyikkan, yang senyatanya penyakit jiwa seperti itu sedang melanda rakyat serta para pemimpin satu negeri yang wilayahnya sangat besar, entah di mana.
Negeri itu akan memilih raja baru. Mereka bingung untuk mendefinisikan raja mendatang, sebab segala ukuran, norma, dan makna lama telah buyar, diganti kegilaan baru yang tentu saja absurd-absurd. Di era yang sudah sangat terbuka, di mana setan mana pun mampu berekspresi ke ruang publik, maka terjadi kejenuhan, stagnasi “drama” di pentas besar ini.
Untuk tetap eksis, maka orang harus dikenal publik yang semakin divergen, luas, sangat bervariasi, dan dengan populasi besar. Perjuangan mencapai atau mempertahankan eksistensi harus semakin kuat, seru—karena kejenuhan tadi. Jadi, untuk itu diperlukan daya tarik luar biasa. Segala upaya “normal” di masa lalu tidak laku di era yang sangat kontemporer. Maka, harus ada kegilaan yang berbeda dan memiliki daya tarik tinggi. Tidak soal bila upaya itu absurd total atau gila sempurna, yang penting publik melihat kita. Paling tidak sekadar menoleh untuk mencuri perhatian umum. Ini harus dilakukan kontinyu kalau tak ingin sekadar sekali lewat lantas hilang ditiup angin, gone with the wind. Menjadi orang waras atau biasa saja sudah tidak cukup agar bisa hidup senang, mudah, karena dengan menjadi terkenal maka orang mendapatkan fasilitas, mendapatkan hak istimewa. Bonusnya adalah kemewahan.
Oleh karena itu, diperlukan drama kasar berupa kehebohan-kehebohan, tak peduli melanggar norma budaya, tata pergaulan, bahkan norma paling sakral sekalipun, agama. Bahkan, agama di era ini sudah dijadikan alat untuk memunculkan diri, bukan untuk dijalankan dengan kepatuhan lama. Mereka sudah lancang untuk jadi “nabi” temporer yang berani menentukan bagaimana orang harus menjalankan ibadah untuk kepentingan eksistensinya.
Maka, kita menyaksikan tingkah laku gila yang tanpa segan dan malu mereka tampilkan di panggung publik itu, supaya orang terkesima melihatnya. Di era kosong batin sekarang, sering tingkah laku “menyimpang” itu disambut meriah dan membuat para tokohnya beken, terkenal, dan setelah itu terserah mereka ke mana tujuan aslinya diarahkan. Bisa untuk meraih kekuasaan atau kekayaan, malah gabungan dari kedua nafsu itu. Sebagai pelengkap atau gong terakhirnya, biasanya berupa perubahan tingkah laku seksual, perselingkuhan, promiscuity, persetubuhan dengan siapa saja.
Memilih pemimpin di zaman gila seperti ini tentu sulit. Akan tetapi, secara normatif, pemimpin, atau raja haruslah orang waras, tidak gila, karena dia menjadi panutan jutaan rakyat. Mungkinkah memilih raja waras dari masyarakat gila? Apakah kegiatan ini bukan satu kegilaan lainnya? Tapi, rakyat tetap ambigu. Di satu pihak sudah gila, di sisi lain masih memegang hukum lama—yang dipakai sebagai topeng. Maka, raja haruslah pertama-tama mengenakan baju model lama, sedangkan pesonanya haruslah heboh.
Kemudian diadakanlah tes kewarasan untuk para calon raja. Formalitas saja, sebab kenyataannya kini berbeda 180 derajat dengan teori, atau norma lama.
***
MENCARI raja waras dianggap masih perlu, walaupun di tengah rakyat yang “gila”. Dan, kegiatan itu menjadi upaya heboh tersendiri. Di Negeri Undur-Undur yang ikut dilanda kultur kegila-gilaan, mengadakan pemilihan raja. Rakyat tak ingin negeri jatuh di bawah telapak kaki raja gila. Mereka tak ingin rajanya nanti sinting, kenthir, atau gila penuh.
Di dunia ini, sepanjang catatan sejarah yang ada, sudah ada 13 raja atau ratu yang diindikasikan sebagai gila. Mereka adalah Geroge II dari Britania Raya, Peter III dari Rusia, Putri Alexandra Amalie dari Bavaria (Jerman), Ludwid II dari Bavaria juga, Otto juga dari Bavaria (Bavaria punya tiga tokoh sentral yang “ajaib” ini), Putri Juana dari Castille (Spanyol), Carlos II juga dari Spanyol, Charles VI dari Prancis, Alfonso VI dari Portugal, Charles IX dari Prancis juga. Selain itu ada Caligula yang suka pesta orgy, pengganti Kaisar Tiberius di masa penyaliban Isa Almasih. Ada juga Nero yang dianggap sinting karena ulahnya membakar kota Roma, selain Pangeran Vlad de Dracul yang bengis dari Pensylvania, yang menjadi inspirasi cerita Dracula. Angka II dan VI di belakang nama beberapa di antaranya cukup menarik, sebab tampaknya raja kedua dan keenam sering kejatuhan nasib sebagai tokoh yang gila, setidaknya kurang waras.
Belajar dari sejarah itu maka Negeri Undur-Undur harus berhati-hati, jangan sampai mendapatkan raja yang kenthir, slendro atau sodrun. Mereka harus berhati-hati, jangan sampai tokoh puncak itu orang yang menderita sakit jiwa, skisoprenia, psikopat, paranoid, atau setidaknya manja, kekanak-kanakan seperti Ludwig II dari Bavaria. Apa Negeri Undur-Undur mau menambah daftar itu? Tidak, kan?
Ujian pertama untuk empat calon presiden dan wakil presiden adalah matematika. Pengujinya seorang yang ramah-tamah. Ia mengacungkan “dua” jarinya kepada calon satu per satu.
“Ini berapa?”
“Tiga,” jawab seorang calon raja.
“Bagus, bagus,” begitu sang penguji, lalu bertanya pada calon lainnya. Mereka semua menjawab “tiga”.
“Satu tambah satu berapa?” tanyanya lagi dengan senyum ramah. Semuanya menjawab “tiga”.
“Bagus, bagus. Kalian cukup cerdas. Maka, kalian lulus,” ucap penguji. Seorang dokter jiwa hendak memprotes, tapi ia segera dibekap mulutnya oleh temannya sendiri.
“Aneh, padahal jarinya tadi kan tiga, ya? Dan, satu ditambah satu kan empat, ya?” bisik seorang calon raja kepada lainnya sembari cekikikan.
“Betul, betul, tiga jari, dan satu tambah satu empat,” ujar yang lain.
“Kita sepakat nggak, nanti pada tes berikutnya kita pura-pura gila saja, ya?” usul seorang.
“Setuju, setuju,” hampir semua calon sepakat untuk memperdaya penguji. Tak lama kemudian si penguji tiba dan bertanya.
“Apakah kalian gila semua?” tanyanya sengit kepada semua calon.
“Yaaa, kami semua gilaaa ...,” jawab para calon dan wakilnya serempak, tegas.
Penguji tertegun. Dia berpaling kepada dua rekannya.
“Semuanya tidak bisa maju. Mereka betul-betul gila. Saya tak akan rekomendasikan,” bisiknya.
Rekan-rekannya memberi isyarat pada dua penjaga yang berbadan besar-besar, kuat. Penguji itu digelandang dan dimasukkan ke dalam sel Gawat Darurat untuk diberi suntikan penenang. Mungkin dia akan menjadi calon pasien RSJ baru.
0 komentar:
Posting Komentar