<div style='background-color: none transparent;'></div>

HumOr Edisi 21 Tahun Kedua, September 2013

HumOr Edisi 21 Tahun Kedua, September 2013
Komedi Manusia - GM Sudarta (Oil on Canvas)






HumOr Edisi Keempat, April 2012

Rabu, 28 Maret 2012



“KENAPA Presiden berani mengambil keputusan yang tidak populer padahal biasanya ia sangat berhati-hati menjaga citra?”
“Gitu aja kok heran, kan sudah jelas tahun 2014 dia tak boleh nyalon lagi?”


“HARI ini DPR akan mengambil keputusan pleno terkait rencana Pemerintah menaikkan harga BBM, menurutmu mereka menolak atau menerima?”
“Kalau kujawab maka rakyat akan menangis pilu; kalau tidak kujawab, rakyat akan mengurut dada sambil bersimbah air mata; apa itu ada manfaatnya bagi kita yang bukan anggota dewan?”


"APAKAH Anda berencana jalan-jalan ke luar negeri masa reses nanti, Pak Benny?"
"Ah, tidak. Buat apa merencanakan jalan-jalan di sekitar orang yang tidak ngomong dengan bahasa kita, dan tidak mungkin memilih kita?"

SEBUAH rapat umum digelar oleh Partai Kambing Congek, di suatu tempat. Di antara pengunjungnya terlihat seorang bocah laki-laki menuntun empat ekor anak kucing untuk dijual.
Tiba-tiba seorang laki-laki dari partai tersebut menghampiri si bocah, lalu bertanya, "Apakah ini anak kucing Partai Kambing Congek?"
"Ya, Tuan, tentu."
"Bagus. Kalau begitu, aku beli dua ekor."
Kira-kira seminggu kemudian, Partai Tikus Berjamaah menggelar rapat partai di tempat yang sama. Di antara pengunjungnya terlihat si bocah menuntun dua ekor anak kucingnya yang belum laku. Cukup lama dia menunggu, namun tak seorang pun berminat membeli kucingnya.
Akhirnya, seorang pengurus partai mendekatinya, dan bertanya, "Hai, Nak, jenis apa kucingmu ini?"
"Tentulah jenis kucing Tikus Berjamaah, Tuan."
Secara kebetulam, pembeli kucing minggu lalu yang pengikut Partai Kambing Congek, melintas di tempat itu dan mendengar jawaban si bocah. Ia segera mencekal leher baju si anak, dan berteriak, "Anak macam apa kau! Seminggu yang lalu kau mengatakan kucing-kucing ini kucing Kambing Congek?!"
"Kemarin memang iya, Tuan," jawab si anak terbata-bata, "namun sekarang tidak lagi. Setelah... mata mereka terbuka!"

Dan banyak lagi lelucon "pahit" lainnya. Juga kartun opini yang menggelitik, foto lucu, kolom segar, gambar penuh kelakar dst dst. Selamat menikmati, semoga Anda menderita kebahagiaan!
Continue Reading | komentar

Humor-humor Tokoh Indonesia

Darminto M Sudarmo

PENYANYI dangdut, Evie Tamala, beberapa waktu lalu pernah terang-terangan mengaku mengagumi Amien Rais karena tiga alasan; pertama, Amien itu orangnya lucu; kedua, pinter dan ketiga karena berani. Mengapa kata lucu harus diletakkan pada pilihan pertama? Benarkah Amien lucu? Anda dapat mengukur fakta itu sesuai kepekaan rasa humor masing-masing. Di televisi, seminar atau dalam percakapan sehari-hari, mudah dijumpai Amien sangat suka menggunakan idiom plesetan; tak peduli itu bahasa asing maupun bahasa daerah (Jawa); sehingga nuansa pembicaraannya terkesan lebih segar, basah dan akrab. 

Bagaimana dengan Gus Dur? Tokoh yang memiliki wawasan humaniora seabreg ini tak perlu diragukan lagi selera humornya. Jauh sebelum ia dikenal sebagai tokoh yang banyak mengeluarkan “konspirasi teka-teki” lewat lemparan singkatan nama orang yang “dimungkinkan” terlibat dengan berbagai peristiwa mencekam, Gus Dur telah sangat dikenal sebagai individu yang sangat doyan lelucon dan mempunyai simpanan joke luar biasa banyaknya. Jadi, sangat tidak bijaksana mengulas hubungan humor dan Gus Dur atau sebaliknya. Hanya menggarami air laut yang sudah asin.

Tetapi, mengapa Megawati Soekarnoputri terkesan sendu dan serius? Apakah Mega tak suka humor? Tunggu dulu. Antara Juli-Agustus 1999 sebenarnya ada niat dari sebuah pihak yang ingin menerbitkan buku “Megawati dalam Karikatur”; berisi aneka karikatur Mega atau PDI atau PDI Perjuangan yang telah termuat di berbagai media massa sejak 1994 hingga ke situasi paling akhir. Ini dimaksudkan agar memperoleh refleksi obyektif dari perjalanan Mega sebagai figur maupun bagian penting dari sebuah lembaga politik yang bernama PDI Perjuangan. Konon, Mega sudah sangat menyukai rencana itu walaupun banyak juga gambar yang agak meledek sikap diamnya; entah kenapa tiba-tiba rencana penerbitan itu tertunda dan tak terdengar lagi kabarnya sampai sekarang. Ada kabar yang mengatakan buku itu tetap diterbitkan walaupun dengan cetak terbatas, karena ternyata masih banyak kesalahan dan belum diloloskan oleh tim editor. Menurut orang-orang dekatnya, tidak benar kalau Megawati tak suka humor. Persoalannya karena dia wanita; sesuka apa pun pada lelucon, tentu tidak dia ekspresikan dalam bentuk tawa cekakak-cekikik yang kurang estetik dilihat dari sudut etik. Begitu katanya.
Bagaimana dengan Akbar Tandjung? Anda semua pasti juga sudah sangat paham. Dia bukan orang yang colorful atau orang yang suka guyon, ujar seorang rekan saya. Akbar itu orangnya lempeng-lempeng saja. Kalau mau ke kantor, ya ke kantor; tidak muter-muter atau mampir-mampir; apa adanya dan sedikit kurang romantis. Itu kata rekan saya. Lihat saja ketika ia menghadapi sergapan pertanyaan wartawan; jarang, bahkan hampir tak pernah dia berdiplomasi dengan jokeatau lelucon yang berselera cerdas. Dan tipe seperti Akbar Tandjung itu banyak. Tak terkecuali Marzuki Darusman. Beda dengan Marzuki Usman yang mantan Menparsenibud itu. Dia biangnya. Senang berlelucon. Sekali Anda sentil saraf humornya, maka kran lucunya langsung terbuka dan akan mengucur banyak lelucon segar. Memang begitulah; walaupun sama-sama hidup di bawah pohon beringin, yang satu sangat serius, yang lain sangat moderat, yang lain lagi asal happy. Jadi apa pun mereka, selama itu masih be theirselves dan bisa menikmatinya, terserah mereka aja. It’s none of my business, he-he-he.
            Nah, bagaimana kesan Anda waktu mengenang sosok yang sangat heboh ini, BJ Habibie? Mungkin sekali kita sependapat, bahwa dia masih memiliki jiwa moderat, jiwa yang lapang dalam merespon kritik. Termasuk reaksinya terhadap karikatur atau lelucon yang menjadikan dirinya sebagai obyek, nyaris oke-oke saja. Sudah ratusan, bahkan ribuan gambarnya dibuat karikatur oleh koran dan majalah; sejauh ini belum sekalipun dia komplain, marah-marah atau menuntut pada media untuk meminta maaf. Begitu juga ratusan lelucon (joke) yang sengaja atau tidak sengaja beredar di sekeliling atau di luar dirinya. Habibie cuma bilang, “It’s OK. Demokrasi.” Persis seperti cara dia merespon serangan “Huuuuu!” yang dilakukan beberapa anggota MPR di awal-awal sidangnya beberapa waktu lalu. Apakah jiwa besarnya itu sungguh-sungguh atau hanya lip service? Anda bisa menilai sendiri, kan? Apa pula komentar Anda setelah menyimak lelucon berikut ini. Tentang beliau.
Usai dilantik menjadi Presiden Indonesia pada Maret 1998, Soeharto masih memerlukan satu kali lagi test akhir untuk menguji calon Wakil Presiden yang bakal mendampinginya. Pilihan saat itu yang diajukan Golkar ada tiga: Habibie, Harmoko dan Try Soetrisno. Karena masing-masing punya kelebihan yang mencolok, Soeharto menjadi agak bimbang. Tapi dia tak kehilangan akal. Test akhir yang bakal diajukan untuk mereka pasti manjur dan sanggup menentukan pilihan yang sangat cocok buat posisi itu.
Kepada Harmoko ia bertanya, “Mok, berapa 3 kali 3?”
Karena Harmoko dikenal selalu ingin menyenangkan Pak Harto dalam berbagai situasi dan kondisi, maka dia menjawab spontan, “Terserah Bapak sajalah maunya berapa. Saya sih, ikut saja.” Rupanya jawaban ini tidak memuaskan Soeharto. Dia khawatir pada orang yang suka ABS, suatu saat buntutnya pasti tidak enak. Harmoko dianggap gagal.
Kepada Try Soetrisno ia bertanya hal serupa. Try Soetrisno yang selama ini dikenal jujur dan apa adanya, juga menjawab sesuai hati nuraninya, “Ya, sembilan, Pak.” Soeharto tetap belum puas. Orang yang terlalu jujur dan lugu bisa membahayakan dirinya yang penuh dengan misteri dan rahasia. Try Soetrisno dianggap gagal.
Kepada Habibie, ia juga bertanya tentang hal yang sama. Habibie tampak termenung agak lama menerima pertanyaan itu. Tetapi bagaimanapun Habibie itu, ia seorang profesor lulusan perguruan tinggi top di Jerman dan orang Jerman mengakui kejeniusannya. Setelah menemukan jawaban, mata Habibie yang bundar itu tampak membeliak lebar dan ia pun berteriak, “Eurekaaa! Aku berhasil!” Soeharto tersenyum-senyum menyaksikan itu; ia memang sudah menduga dirinya pasti tidak salah memilih orang.
“Berapa Bie, persisnya?” tanya Soeharto tak sabar.
“Sudahlah, 3 buat saya, 6 buat Bapak, dah!”
Habibie dinyatakan berhasil dan layak menjadi Wakil Presiden Indonesia mendampingi Presiden Soeharto.
            Ini lelucon yang muncul sesudah Pak Harto lengser. Suatu hari, beberapa minggu setelah BJ Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, BPPT punya hajat. Pada saat itu, Habibie dan hampir seluruh anggota kabinet hadir. MC pun mulai memimpin acara. Setelah acara rutin beres, MC berkata, “Acara berikutnya adalah sambutan dari Bapak Menristek. Waktu dan tempat kami persilakan.” Tiba-tiba BJ Habibie berdiri dari duduknya dan berjalan menuju mimbar. Tentu saja sang ajudan kalang kabut. Buru-buru ia mengejar Habibie, lalu berbisik, “Mohon maaf, Pak. Bapak sekarang sudah Presiden. Bukan Menristek lagi.” Sesaat Habibie terbengong. “Oh ya?” Habibie geleng-geleng kepala, lalu senyum-senyum sendiri dan kembali ke tempat duduknya semula. Dasar profesor.
            Ini joke lain lagi. Pimpinan rumah tangga Istana Kepresidenan membuat peraturan kepada seluruh staf, agar setelah Presiden Habibie pulang, meja kerjanya harus dibersihkan segera. Tak boleh sesobek kertas pun tertinggal. Mengapa muncul peraturan seketat itu? Usut punya usut, ternyata kalau sampai ada sepotong kertas yang tertinggal di meja kerja, pasti ditandatangani Presiden. Maklum, waktu itu memang masih baru; jadi masih gres dan tokcer.
            Dan joke yang ini sebenarnya tergolong kelewatan; tapi uniknya, menurut sebuah sumber, yakni orang dekat di Sekretariat Negara, setelah mendengar lelucon tersebut Pak Habibie cuma menanggapinya sambil ketawa. Kalau toh kemudian tercetus dalam ucapan, paling banter dia akan berkata, “It’s OK. It’s just a joke.” Benarkah Habibie sehebat itu?
            Dikisahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1999, praktis Indonesia baru memiliki 3 presiden. Dan konon, menurut lelucon itu, ketiga presiden itu sama-sama gilanya. Kalau presiden pertama gila wanita; presiden kedua gila harta; maka presiden ketiga, gila beneran!
            Berbeda dengan Baligate, yang belum melahirkan karikatur yang josss dan signifikan; kasus Watergate justru sebaliknya. Begitu heboh dan marak merebak; pendek kata, karikatur tentang Presiden Nixon muncul di hampir semua koran Amerika. Salah satu yang menarik adalah sebuah koran yang memvisualkan keruwetan kasus itu dengan ungkapan yang sangat khas. Digambarkan Nixon tampak duduk di kursi sebagai tertuduh; namun, hakim, para juri, pembela, penuntut dan pengunjung sidang, semua juga berwajah Nixon! Surealis sekali, bukan?
            Diam-diam lomba membuat lelucon antar peta kekuatan organisasi politik pun juga berlangsung cukup ramai. Terutama di saat menjelang Pemilu 1999. Kalau Gus Dur pernah membandingkan unsur NU yang ada di PKB dan NU yang ada di luar PKB itu bagaikan seekor ayam yang mengeluarkan sesuatu dari duburnya; yaitu  telor dan (maaf) telek. Sementara itu dari kubu PDI Perjuangan sebagai sekutu PKB, juga tak mau kalah kreatif dari rekannya dan mengeluarkan  lelucon seperti ini: Presiden pertama Indonesia itu, suka wanita; presiden kedua, takut sama wanita; presiden ketiga, kewanita-wanitaan; maka presiden keempat, jelas wanita beneran!
            Begitulah, sehingga secara tak terduga, di antara  bersimpang siurnya situasi krisis yang mencekik, teror yang menggila, penjarahan dan perampokan yang merajalela dan terjadi pada saat itu, kehadiran lelucon, betapapun sedikitnya terasa seperti setetes air yang memberi kesejukan pada masyarakat yang sedang kehausan dan kelaparan kepercayaan pada para elit pimpinannya itu.
            Dan puncak dari seluruh momentum “ger-geran” (bisa dibaca: geger-gegeran atau gerrr-gerrran) di tingkat elit itu ada pada Pak Harto, terutama sesudah dia lengser. Bukan saja munculnya lelucon tentang dia yang membanjir dan meluap di internet, tetapi juga dimeriahkan dengan  rumor, buku, bahkan hujatan (lelucon yang menghakimi) yang ramai beredar di toko buku dan dikunyah masyarakat secara sangat lahap. Rakyat tetap masih belum kenyang juga. Barulah ketika Butet Kartaredjasa, seorang aktor monolog dari Yogyakarta, membawakan sosok dan figur menonjol di zaman Orde Baru dalam sebuah pentas, gegerlah publik. Berebutan mereka mengundang Butet. Sehingga hotel, kafe, bahkan stasiun TV diramaikan oleh sepak terjang Butet. Ingin apa sebenarnya masyarakat itu dari Butet? Ingin bisa ketawa atau ngetawain?
            Ini dia soalnya. Saat itu telanjur terjadi salah persepsi dalam benak para elit politik atau penguasa. Mereka terjebak pada keyakinan bahwa lelucon itu membahayakan. Mereka juga mendramatisasi situasi agar tak menganggap enteng lelucon; karena sebuah senyum atau tawa juga dapat menggerakkan revolusi. Akibatnya, lelucon-lelucon kritis dan cenderung pedas, disikat habis tanpa ampun. Padahal bila para elit penguasa mau mengkalkulasi, seharusnyalah mereka berterimakasih karena masih ada orang yang membuat lelucon. Masih ada orang yang menuturkan lelucon dan mendengarkannya. Apalagi sampai mengapresiasi dan ketawa terbahak-bahak karenanya. Dengan demikian kebringasan dan agresivitas masyarakat bisa tereliminasi. Dan lelucon di situ, betapa pun tajamnya, tetap saja akan berhenti sebagai lelucon. Masyarakat pun lupa menggalang kekuatan, apalagi melakukan upaya-upaya makar.
            Bila substansi lelucon sudah bebas dari agitasi dan pretensi politis, maka situasi yang ada sebenarnya sudah bisa dianggap  kembali ke lelucon murni; lelucon yang benar-benar dimaksudkan untuk menghibur dan menyenangkan hati. Bukankah orang bilang, “Ketawa itu sehat?” Lagi pula, lelucon juga dapat digunakan untuk mengukur kualitas demokrasi seseorang; asal tidak dadakan dan dibikin-bikin!
(Sumber: Anatomi Lelucon di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004)

Continue Reading | komentar

Lelucon Politik yang Pahit dan Bikin Sakit


Kartun Jitet Koestana

“KENAPA Presiden berani mengambil keputusan yang tidak populer padahal biasanya ia sangat berhati-hati menjaga citra?”
“Gitu aja kok heran, kan sudah jelas tahun 2014 dia tak boleh nyalon lagi?”


“HARI ini DPR akan mengambil keputusan pleno terkait rencana Pemerintah menaikkan harga BBM, menurutmu mereka menolak atau menerima?”
“Kalau kujawab maka rakyat akan menangis pilu; kalau tidak kujawab, rakyat akan mengurut dada sambil bersimbah air mata; apa itu ada manfaatnya bagi kita yang bukan anggota dewan?”


SEORANG politikus dari Partai Tikus Berjamaah punya anak sembilan, semuanya laki-laki. Ketika semuanya telah punya hak pilih, semuanya memilih Partai Tikus Berjamaah, selain seorang anaknya yang bernama Dony. Tentu saja Partai minta pertanggungjawaban padasi politikus tersebut.
"Yah... apa mau dikata. Setiap hari Minggu saya selalu membawa anak-anak itu ke bar untuk minum-minum sambil mengatakan bahwa partailah yang membayar minum-minuman itu. Mereka semua ikut menikmati, kecuali si Dony. Ia cuma minum air dari kran, kemudian pulang duluan!"



"SAYA mengambil jurusan Ekonomi Politik sewaktu kuliah."
"Itu tidak ada gunanya di sini. Mengapa harus ekonomis dalam berpolitik? Itu tidak pernah dilakukan orang!"
"APA cara terbaik untuk meningkatkan pendapatan negara?"
"Kenakan pajak setiap pidato politik di negara ini!"


"APAKAH saya terlambat mendaftar untuk memilih?"
"Tergantung mau pilih partai apa?!"


"SAYA seakan-akan mendengar suara rakyat yang memilih saya berteriak-teriak memanggil-manggil saya," ucap seorang wakil partai yang sangat mendambakan bisa duduk di DPR.
"Itu mungkin cuma suara hati Anda yang terlampau keras menjerit!"


KARENA terburu-buru takut ketinggalan sidang, seorang anggota dewan hampir jatuh tersandung karpet. Dompetnya jatuh, ia tak sadar. Seorang petugas cleaning service yang terkenal kurang baik kelakuannya, segera memungutnya dan menyerahkannya kepada si anggota dewan.
Sang anggota dewan sangat heran. Setelah mengucapkan terimakasih, ia berucap, "Eh, orang-orang mengatakan, kamu tidak jujur."
"Memang benar, Pak. Tapi saya tetap tahu sopan santun, sesama bus kota kan tidak boleh saling mendahului.”



BEBERAPA orang anggota dewan telah minum melebihi batas kekuatan mereka.
"Bagaimana Anda tahu?"
"Saya tahu karena keesokan harinya saya menemukan naskah pidato bertebaran di lantai karena dibuat sambil teler."


SEORANG pejabat diminta meresmikan sebuah gedung baru. Ia segera memanggil ajudannya.
"Dan, dengar baik-baik. Besok aku akan pidato. Kau harus hadir di tengah para undangan. Kau harus siap-siap untuk tertawa atau tepuk tangan. Setiap kali aku mengambil gelas minum, kau harus bertepuk tangan, dan setiap kali aku menggeleng-gelengkan kepalaku, kau harus tertawa!"
"Beres! Tetapi kodenya lebih baik ditukar, Pak. Saya pasti akan tertawa bila melihat Bapak minum!"


"ORANG-ORANG tak dikenal itu sudah pasti tidak boleh ikut memilih, Pak," kata seorang penduduk melapor kepada seorang anggota pimpinan partai.
"Itulah yang membuatku bertanya-tanya. Sepertinya, separuh dari mereka adalah orang-orang yang kuberi uang kemarin. Tapi yang mana-mana, aku tak ingat lagi."


SEORANG politikus muda berjalan-jalan di sebuah taman. Ketika dia melalui seorang peramal, dia berhenti. Si peramal langsung saja berceloteh.
"Tuan, Tuan sudah menikah, bukan?"
"Betul."
"Anak Tuan dua, bukan? Laki-laki semuanya?"
"Ya, betul."
"Tuan pengikut Partai Kambing Hitam?"
"Nah, Anda sudah melakukan kekeliruan! Itu masih tergantung! Peramal lain mengatakan saya akan dapat suara lebih banyak bila di Partai Tikus Berjamaah!"


SEORANG pemandu wisata dengan bersemangat menceritakan kehebatan candi Borobudur kepada rombongan DPR dari negeri tetangga.
"Tahukah Tuan-tuan, untuk menciptakan ini diperlukan pekerja dan pemahat-pemahat handal selama ratusan tahun..."
"Tapi... kok kami tidak pernah dengar ada order dari pemerintah untuk mengerjakan proyek itu?!"


SEBUAH rapat umum digelar oleh Partai Kambing Congek, di suatu tempat. Di antara pengunjungnya terlihat seorang bocah laki-laki menuntun empat ekor anak kucing untuk dijual.
Tiba-tiba seorang laki-laki dari partai tersebut menghampiri si bocah, lalu bertanya, "Apakah ini anak kucing Partai Kambing Congek?"
"Ya, Tuan, tentu."
"Bagus. Kalau begitu, aku beli dua ekor."
Kira-kira seminggu kemudian, Partai Tikus Berjamaah menggelar rapat partai di tempat yang sama. Di antara pengunjungnya terlihat si bocah menuntun dua ekor anak kucingnya yang belum laku. Cukup lama dia menunggu, namun tak seorang pun berminat membeli kucingnya.
Akhirnya, seorang pengurus partai mendekatinya, dan bertanya, "Hai, Nak, jenis apa kucingmu ini?"
"Tentulah jenis kucing Tikus Berjamaah, Tuan."
Secara kebetulam, pembeli kucing minggu lalu yang pengikut Partai Kambing Congek,melintas di tempat itu dan mendengar jawaban si bocah. Ia segera mencekal leher baju si anak, dan berteriak, "Anak macam apa kau! Seminggu yang lalu kau mengatakan kucing-kucing ini kucing Kambing Congek?!"
"Kemarin memang iya, Tuan," jawab si anak terbata-bata, "namun sekarang tidak lagi. Setelah... mata mereka terbuka!"


"AYAH," kata seorang anak kecil, "apa yang disebut penghasut itu?"
"Penghasut itu, anakku, adalah seseorang yang hanya mengguncang-guncangkan air di dalam gelas, namun mengatakan bahwa ada badai mengamuk di lautan."


"ANAK saya ingin sekali mendapat pekerjaan di kantor Anda," kata seorang politikus pada seorang pejabat.
"Apa yang dapat dikerjakannya?"
"Tak ada."
"Baguslah. Paling tidak bisa toh dia bilang, ‘Baik, Pak’ atau ‘Siap, Pak’, kan?"


"JADI, istri Anda sekarang sudah mulai aktif dalam kampanye politik?" tanya seorang wartawan.
"Betul, dia sekarang sedang ke toko membeli topi untuk dilemparkan kepada para fans-nya."


DALAM sebuah dinner, ketua partai mengumumkan, "Tuan-tuan, sebelum saya memperkenalkan pembicara selanjutnya, kita akan istirahat sejenak. Silakan Anda keluar untuk melemaskan kaki-kaki Anda."
"Tapi, siapa pembicara itu?" tanya para tamu.
"Sebelum saya memberi tahu Tuan-tuan, saya memilih untuk menunggu sampai Anda masuk kembali."


TUAN Smart punya dua orang anak laki-laki. Yang seorang sudah nyemplung ke dunia politik. Dan yang seorang lagi, tidak lebih baik daripada itu."


"SAYA telah memutuskan untuk melakukan terapi agar ingatan saya kembali baik dan kuat."
"Sistem apa yang akan Anda pakai?"
"Saya tidak tahu. Saya sedang mencari sistem yang bisa membuat saya melupakan apa yang pernah katakan dan janjikan!"


"APAKAH Anda berencana jalan-jalan ke luar negeri masa reses nanti, Pak Benny?"
"Ah, tidak. Buat apa merencanakan jalan-jalan di sekitar orang yang tidak ngomong dengan bahasa kita, dan tidak mungkin memilih kita?"




Continue Reading | komentar

Biar Aja Demo, Enakan Jalan2 Sore Ah...

Kartun Non-O

Continue Reading | komentar

Motif Kekisruhan di Negeri Ini


Kartun Non-O

Continue Reading | komentar

Yang Masih Menggantung dan Bertele-tele!


Kartun Joko Luwarso

Kartun Hoesie


Kartun Joko Luwarso


Kartun Martono

Continue Reading | komentar

Demo - Andy Santajaya



Continue Reading | komentar

Serba-serbi Ironi Indonesia



Gambar Jadud Sumarno


Gambar: Hang Ws



Gambar: Hang Ws


Kartun: Ahmad Antawirya

Kartun Non-O


Kartun Zaenal Kokkang (Memenangkan Silver Prize di Korsel, 2012)
Continue Reading | komentar

Pola Makan, Pola Pikir


Prie GS
Keliru pola makan akan mengakibatkan sakit. Keliru pola pikir juga mengakibatkan sakit. Lalu apa jadinya jika pola makan keliru, pola pikir juga keliru. Para ahli sedang berdebat, siapakah yang lebih dominan  di antara dua pola itu sehubungan dengan kesehatan. Menurut saya, keduanya dominan begitu  keadaan memungkinkan.
Ada pihak yang ceroboh pola makan tapi santai dalam pikiran. Yang lain masuk pesawat dengan tegang orang ini bisa datang, duduk lalu mendengkur hebat. Apa yang dimakan orang ini, bisa jadi mendatangkan masalah bagi tubuhnya. Tapi kemudahannya tidur itu adalah juga berkah dalam hidupnya. Kita mengerti hebatnya tidur nyenyak walau sejenak. Padahal orang ini bisa tidur sangat banyak dan sangat nyenyak. Istirahatnya itu bisa menjadi tukang tadah bagi kesalahan pola makannya.
          Tak ada obat yang kemanjurannya melebihi obat bernama istirahat. Banyak penyakit datang bukan karena seseorang lemah, melainkan karena ia gagal istirahat ketika seharusnya ia beristirahat. Jadwal istirahat yang selalu dilanggar inilah yang membuat fisik melakukan sabotase dengan cara mengistirahatkan paksa dirinya. Dan orang-orang yang mudah  tidur adalah pihak memiliki pola istirahat istimewa karenanya secara umum kesehatannya terjaga. Tetapi apakah orang seperti ini selalu  lebih beruntung? Tidak juga.
          Karena kelebihannya itulah sekaligus kelemahannya. Mentang-mentang merasa mudah sehat itulah ia juga mudah ceroboh. Apa saja dia makan tanpa menghitung bahwa tubuh juga memiliki keterbatasan. Ia makan benar-benar berdasarkan kepentingan lidah, bukan kepentingan tubuh. Maka betapapun ia punya keunggulan akhirnya habis juga digerogoti kelemahan. Itulah kenapa setiap bakat memiliki ironi: setiap keuntungan besar dikuntit risiko besar, setiap keberhasilan besar memiliki tekanan besar. Ini bukan sekadar ironi, ini hukum.
          Jadi  secara hukum, ada ikatan antara tesis dan antitesis, setiap sebab akan memunculkan akibat. Misalnya orang berkuasa  berpotensi angkuh, orang kaya berpotensi sombong, orang pintar berpotensi sinis, orang bodoh berpotensi ngawur dan para tersangka berpotensi masuk penjara. Hukum ini tidak  bisa  diubah tetapi bisa dicegah. Pencegahannya bisa lewat dua cara, pertama sama sekali pindah ke hukum baru, kedua, sekadar memakai hukum titik tengah. Hukum baru itu mudah untuk satu perkara tetapi sulit untuk perkara lainnya. Misalnya: karena berperkara rawan masuk penjara maka hukum termudah untuk menghindari perkara ialah sama sekali jangan berperkara. Ini yang disebut mudah.
          Tapi hukum baru ini tidak mudah dijalankan bagi kekayaan. Karena kaya berpotensi sombong maka cara termudah menghindari kesombongan adalah dengan cara menolak kaya. Pilihan ini jelas sulit dijalankan. Maka kepada kasus kedua ini lebih cocok menggunakan hukum titik tengah, yakni mengawinkan dua hukum yang sudah  ada. Seseorang boleh kaya dan tidak harus  sombong. Seseorang boleh pintar tapi tidak harus sinis. Jadi hukum titik tengah inilah jawaban untuk semua soal yang sedang kekurangan keseimbangan.
          Titik tengah semacam inilah yang sekarang sangat dibutuhkan Indonesia. Jika Anda cermati, ketidakseimbangan itu sekarang sedang merata hampir di seluruh cabang urusan mulai dari jalanan sampai ke pemerintahan. Lebar jalan tidak lagi seimbang dengan jumlah kendaraan. Ramai pertengkaran tidak sepadan dengan laju pembangunan. Jumlah korupsi jauh lebih mencengangkan katimbang jumlah produksi. Jumlah perkara yang dirampungkan tak sebanding dengan masalah baru yang bermunculan. Secara geografis Indonesia berada di garis tengah, secara demografis mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, agama yang mengajarkan titik tengah. Bangsa yang dimandati titik tengah ini tidak boleh gagal mengamalkan titik tengah.
Continue Reading | komentar
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr Online . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger