<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Wawancara Imajiner dengan Bing Slamet

Wawancara Imajiner dengan Bing Slamet



Darminto M Sudarmo
PAS di ujung malam yang sepi saya berhasil bertemu dengan almarhum Bing Slamet secara rokhani. Siapa Bing Slamet, bagi generasi dewasa tentu bukan nama asing; tapi bagi anak muda sekarang mungkin agak membingungkan. Apakah ia familinya Bing Crosby atau oom-nya Slamet Rahardjo. Tapi kalau anak-anak muda dipandu dengan menyebut nama Adi Bing Slamet atau Iyut Bing Slamet, pasti mereka berkata, “O…itu.”
Sebagai pendekar lawak yang serba bisa pada zamannya, Bing Slamet tetap menebarkan inspirasi bagi para pelanjutnya; yaitu pelawak-pelawak masa kini. Dan berangkat dari rasa penasaran melihat perkembangan lawak yang ada saat ini, saya todong dia langsung dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam.

Halo Pak Bing, Anda yakin, perkembangan lawak sekarang ini sudah benar menurut estetika seni lawak?
Lho, soal estetika tidak mengenal kata benar atau salah; yang ada cuma baik dan buruk. Setengah baik dan setengah buruk.

Katakanlah begitu; menurut Anda?
Sulit menjawab itu; karena situasi yang berkembang saat ini sudah sangat berbeda dengan kondisi pada zaman saya. Katakanlah lawak, terutama yang muncul di televisi, itu sebuah industri budaya, maka pengelola stasiun televisi, rumah produksi dan produsen pemasang iklan sudah sangat sadar pentingnya pasar. Mereka bahkan tidak mau repot-repot dialog secara intensif untuk mencapai kondisi yang mencerahkan. Bagi mereka, mungkin ada semacam komitmen bahwa goal dari sebuah upaya adalah tercapainya rating yang tinggi dan masukan iklan yang fantastis. Ini sungguh rasio pemikiran yang tidak salah. Jadi di mana kontribusi lawak terhadap rokhani pemirsa? Apakah cukup dengan gelak tawa dan munculnya perasaan senang? Ataukah adanya stimulasi nilai yang membuat pemirsa merasa semakin kaya secara rokhani? Sepertinya ruang-ruang itu tak bisa ditemukan dalam media yang namanya televisi. Atau jangan-jangan terlalu berlebihan kalau hal itu dibebankan pada seni lawak?

Anda tidak yakin bahwa seni lawak sama seriusnya dengan seni-seni yang lain?
Yakin, dong. Kelihatannya memang slengekan, cengar-cengir, perilaku bodoh dan ugal-ugalan; tetapi itu semua tak mungkin bisa lahir jika tanpa dilambari semangat berkreasi yang sungguh-sungguh dan kerja keras. Lihatlah slengekannya orang gila; apakah ia bisa diatur menurut “skenario”? Bisa mengikuti keinginan pengarah acara? Tidak, bukan? Slengekannya pelawak lain. Apalagi kalau slengekan itu berjenis kelamin canggih dan unggul; artinya: berkualitas. Mana mungkin itu dibikin secara asal-asalan?

Slengekan berkualitas, maksudnya?
Hasil olah perenungan dan kontemplasi; begitu orang sastra atau budaya sering bilang. Kriterianya: mengandung unsur baru, berdaya kejut dan merangsang perasaan intelektual penikmatnya. Itu di luar unsur lucu, menarik dan punya pesan moral yang baik.

Kok jadi berat ya tugas kreator seni lawak?
Sangat berat. Benar orang bilang, membuat orang menangis lebih mudah ketimbang membuat orang tertawa. Dan ketika saya mengikuti perkembangan yang terjadi, terutama dalam olah kreasi karya, di satu sisi saya prihatin, tetapi di sisi lain saya juga bisa memahami kalau melihat pelawak banyak mengulang stilisasi ide yang sudah menjadi trade mark mereka. Karena apa? Karena menemukan ide yang bagus itu sulitnya bukan main. Kalau menuruti kritikus sih, ide baru tadi harus dipresentasikan sekali saja dalam hidup si pelawak dan selanjutnya bikin yang baru lagi; apa ini tidak gila? Iya, kalau satu ide terus bisa buat hidup tujuh turunan, para pelawak rela melupakannya, tapi kalau apresiasi masyarakat sedang tidak peduli pada orisinal atau ulangan, mengapa tidak dimanfaatkan? Sedangkan satu naskah kreatif di teater saja, bisa dipentaskan oleh kelompok drama yang berbeda untuk periode waktu yang tak terbatas. Sebutlah naskah Shakespeare saja, sampai sekarang masih laku dan boleh ditafsirkan secara berkembang oleh sutradara yang berbeda, mengapa di lawak tuntutannya begitu kejam dan menafikan pengulangan?

Mungkin karena gagasan seni lawak berupa potongan-potongan daya kejut?
Panjang atau pendek tergantung bagaimana pelawak mengolahnya. Tetapi, ada baiknya pelawak juga punya kontrol diri; terutama kalau pengulangan ide itu terlalu sering. Pada saat itu sudah seharusnya dihentikan dan diganti dengan gagasan yang baru. Atau semacam pengembangan, eksplorasi dari ide yang sebelumnya, sehingga ada sesuatu yang terkesan beda.

Maraknya Ketoprak Humor, Ludruk Glamor, Srimulat, menurut Anda?
Itu sah-sah saja. Sebenarnya itu semacam plesetan karena ketoprak dan ludruk yang baku sudah dinilai kurang segar dan akomodatif terhadap berbagai kecenderungan yang baru; sementara ketoprak dan ludruk humor bersedia menampung dan memberi ruang; dan kenyataannya masyarakat menyambut itu dan merasa ada udara yang segar dari kesenian yang secara tradisi juga lekat dengan memori mereka. Tetapi, bila pilihan tersebut ternyata hanya menjadi “pemaaf” dan “pembolehan” dari berbagai kekurangan atau kendala para pemain tamu atau baru yang direkrut secara berani, lama-lama juga bisa tiba pada titik jenuh. Ada baiknya dipikirkan  upaya mengeksplorasi jalan cerita, analogi penokohan, kreasi dialog dan semua unsur dari realitas pementasan yang ada. Sebutlah kalau membuat musik humor tidak berhenti pada syair yang lucu, tetapi juga mengolah nada atau tone yang berdaya kejut, menampilkan sensasi ukuran instrumen maupun cara memainkan yang direncanakan secara entertainment lawak. Pendek kata jalan-jalan lebih menyegarkan ketimbang hanya jalan di tempat.

Timbul pertanyaan di masyarakat, mengapa banyak pelawak yang berumur pendek?
Itu karena pelawak sangat dikenal oleh lingkungannya. Sehingga setiap ada sesuatu yang menimpa diri pelawak, segera tersebar ke masyarakat. Padahal, yang tidak dikenal, banyak juga yang mati muda atau berumur pendek.  Mengapa masyarakat mengakait-kaitkan usia dan profesi seseorang?

Itulah yang juga ingin saya tanyakan ke Anda?
Ah, jangan ngaco, dong. Soal mati hidup manusia kan sudah ada yang ngurusin. Pelawak yang mati muda barangkali karena tak bisa mengatur diri ketika laris. Semua tawaran show diterima, akhirnya masuk angin tidak terasa. Perbandingan antara kerja dan istirahat tidak seimbang sehingga mengundang datangnya penyakit. Itu kan soal teknis. Dan sangat manusiawi kan kalau seorang penghibur sangat khawatir pada datangnya hantu: tidak laku lagi? Akibatnya ia banting tulang habis-habisan sampai akhirnya tinggal tulang beneran. Mungkin kalau kita berpikir wajar dan sederhana, roda itu bergerak. Adakalanya di atas, adakalanya di bawah. Soal biasa, kan? Lagi pula, kalau tawaran gagasan si pelawak tak pernah basi, kan dirinya akan tetap laku sepanjang hidup.


Bagaimana supaya punya gagasan yang selalu segar?
Ya, kerja sama dengan orang-orang kreatif. Seorang pelawak adakalanya tidak bisa memberikan sesuatu yang dia sendiri memang tidak punya. Untuk bisa punya dia harus bekerja sama dengan yang punya. Nah, namanya orang-orang kreatif, tentu mereka selalu bekerja keras untuk menghasilkan karya-karya baru, kan?


Penghasilan pelawak jadi terbagi, dong?
Lho, itu logis. Pelawak dapat strum ya harus bayar rekening ke yang memberi setrum dong; itu baru fair. Kok mau enaknya saja. Emangnya bikin ide kreatif itu mudah?

Wah, kalau begitu saya pamit dulu, Pak Bing, terimakasih atas komentar Anda…
Ah, Ente bisa aja ngakali pembaca dengan menjual nama saya he-he-he!

Oh ya?
(Sumber: Anatomi Lelucon di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Majalah HumOr Online . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger